KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kelapangan dan kemudahan sehingga
penyusunan makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Makalah dengan judul "Angka
Kecukupan Gizi ( AKG ) & Masalah – Masalah Gizi Yang Dihadapi Masyarakat ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Mata kuliah Ilmu Gizi.
Dalam penyusunan Makalah ini
tentu tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik langsung maupun tidak
langsung. Untuk itu, dalam kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang terlibat.
Penyusun menyadari dengan
sepenuhnya bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan kekeliruan, untuk itu
kritik dan saran yang konstruktif dari rekan-rekan pembaca sangat penyusun
harapkan.
Akhir kata, semoga Makalah ini
bermanfaat bagi rekan-rekan pembaca. Dan semoga kesemuanya ini tercatat sebagai
amal ibadah di sisi-Nya. Amin.
Pancor, Oktober 2011
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang.
Masalah gizi tidak terlepas dari masalah makanan karena masalah gizi
timbul sebagai akibat kekurangan atau kelebihan kandungan zat gizi dalam
makanan. Kebiasaan mengkonsumsi makanan yang melebihi kecukupan gizi
menimbulkan masalah gizi lebih yang terutama terjadi di kalangan masyarakat
perkotaan. Dilain pihak empat masalah gizi kurang seperti gangguan akibat
kekurangan yodium (GAKY), anemia gizi besi (AGB), kurang viatmin A(KVA), kurang
energi protein (KEP) masih tetap merupakan gangguan khususnya di pedesaan.
Dengan meningkatnya taraf hidup sebagian masyarakat yang tinggal baik di
perkotaan maupun di pedesaan akan memberikan perubahan pada gaya hidup. Pemilihan makanan yang cenderung
menyukai makanan siap santap dimana kandungan gizinya tidak seimbang. Rata-rata
makanan jenis ini mengandung lemak dan garam tinggi, tetapi kandungan serat
yang rendah. Disamping itu masih banyak masyarakat yang hidup dibawah garis
kemiskinan dimana pemenuhan kebutuhan makanan kurang sehingga timbul masalah
gizi kurang. Jadi masalah gizi yang timbul, baik masalah gizi kurang maupun
masalah gizi lebih sebenarnya disebabkan oleh perilaku makan seseorang yang
salah yaitu tidak adanya keseimbangan antara konsumsi gizi dengan kecukupan
gizinya.
Ada
pergeseran konsep standar gizi yang digunakan pada masa lalu dan masa kini.
Pada masa lalu hanya dibuat satu standar gizi, yaitu angka kecukupan gizi yang
dianjurkan (recommended dietary allowances, RDA) untuk keperluan berbagai
tujuan. Pada masa kini standar gizi dibuat tidak tunggal lagi, tergantung
tujuan penggunaannya, yaitu kebutuhan rata-rata (estimated average requirement,
EAR), asupan gizi yang cukup (Adequate Intake, AI), kecukupan gizi (recommended
dietary allowances, RDA), dan batas atas asupan (Tolerable Upper Intake Level,
UL). Untuk keperluan di Indonesia hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
VIII tahun 2004 menetapkan tiga standar gizi, yaitu angka kecukupan gizi (AKG),
batas atas asupan (UL), dan acuan label gizi (ALG).
1.2
Rumusan
Masalah
1. Apa
sajakah Masalah-masalah
gizi yang sering dihadapi masyarakat ?
2. Apakah
yang dimaksud dengan Angka Kecukupan Gizi ?
3. Apakah
kegunaan Angka Kecukupan Gizi ?
4. Apa
sajakah factor yang mempengaruhi Angka Kecukupan Gizi ?
1.3
Tujuan
a. Tujuan Umum.
Agar
mahasiswa dan pembaca mengerti tentang pentingnya angka kecukupan gizi (AKG) &
Masalah-masalah
gizi yang sering dihadapi masyarakat
b. Tujuan Khusus.
§
Menjelaskan Masalah-masalah
gizi yang sering dihadapi masyarakat.
§ Menjelaskan
pengertian Angka Kecukupan Gizi ( AKG )
§
Menjabarkan Konsumsi Pangan dan Kecukupan Gizi
§
Menjelaskan kegunaan angka kecukupan gizi
§
Menyebutkan factor yang mempengaruhi kecukupan gizi
BAB III
PEMBAHASAN
Menurut Prof Soekirman Ph.D., Guru Besar Ilmu Gizi IPB Bogor, Masalah
Gizi adalah Gangguan kesehatan dan kesejahteraan seseorang, kelompok
orang atau masyarakat sebagai akibat adanya ketidak seimbangan antara asupan
(intake) dengan kebutuhan tubuh akan makanan dan pengaruh interaksi penyakit
(infeksi).
Ketidak seimbangan atau gangguan dari masalah gizi bisa karena kekurangan
asupan bisa juga karena kelebihan asupan. Dari berbagai penelitian dan
pemantauan pada konsumsi gizi masyarakat, ketidak seimbangan atau
gangguan yang muncul dapat mengakibatkan :
1. Menurunnya
pertahanan tubuh terhadap penyakit (imunitas) yang berdampak pada
tingginya angka penyakit infeksi dan kematian bayi dan balita
2. Gangguan pertumbuhan fisik
pada siklus kehidupan manusia sejak janin, bayi baru lahir,balita yang dapat
berdampak sampai dewasa
3. Gangguan
perkembangan otak pada janin, bayi dan balita yang berdampak pada
kecerdasan pada usia sekolah
4. Rendahnya
produktifitas kerja
5. dan
Gangguan-gangguan gizi dan kesehatan lainnya
3.2 Jenis
Masalah Gizi
Jenis masalah gizi didasarkan pada ketidak seimbangan asupan makanan
terhadap kebutuhan tubuh, yaitu yang pertama adalah ketidak seimbangan
karena kekurangan asupan dari kebutuhan tubuh dan yang kedua adalah ketidak
seimbangan karena kelebihan asupan dari kebutuhan tubuh akan zat-zat (gizi)
yang terdapat dalam makanan
Jenis masalah gizi yang pertama adalah ketidak seimbangan karena
kekurangan asupan makanan dari kebutuhan tubuh biasa disebut dengan
gizi yang kurang atau yang lazim disebut dengan “gizi kurang” atau
biasa juga diistilahkan dengan “kelaparan”, baik yang
kentara maupun tidak kentara. Gizi kurang juga dibedakan atas
kekurangan komponen-komponen gizinya yaitu “gizi kurang makro” dan
“gizi kurang mikro”. Gizi kurang makro dikenal dengan “kurang
energy protein”. Sedang gizi kurang mikro yang banyak ditemukan atau
menjadi masalah adalah Kurang Zat Yodium, Kurang Zat Besi, Kurang Vitamin A,
Kurang Zat Zeng, Kurang Asam Folat, Kurang Vitamin B12 dan lain-lain.
Jenis masalah gizi yang kedua adalah ketidak seimbangan karena kelebihan
asupan dari kebutuhan tubuh, dikenal dengan istilah “gizi lebih”,
contohnya kegemukan dan penyakit Degeneratif. Gizi lebih ini lebih dikenal
dengan “lebih Karbohirat” atau banyak makan dan juga “lebih lemak” atau banyak
makan lemak/minyak masakan. Kesemuanya dikenal dengan istilah “energy
Lebih”. Contoh penyakit gizinya, bila kelebihan Karbohidrat maka dalam
darah akan kelebihan glukosa, bila glukosa ini sempat diproses menjadi glikogen
maka seseorang akan terlihat Kegemukan, bila glukosa tidak sempat diproses
menjadi glikogen alias glukosa darah tetap tinggi maka seseorang akan menderita
penyakit gula, akan lebih parah lagi bila seseorang telah mengalami proses
degeneratif. Ini terjadi juga pada keadan gizi lebih karena “lebih
lemak” atau banyak makan lemak/minyak masakan, lemak yang dimakan akan
tertimbun pada pembulu darah dan ini akan menimbulkan penyakit jantung,
penyakit darah tinggi dan akibat-akibat lainnya.
3.3 Pengertian Angka kecukupan gizi (AKG)
Angka kecukupan gizi (AKG) adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi
yang diperlukan untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua penduduk
menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan kondisi fisiologis, seperti kehamilan
dan menyusui. Konsep kecukupan energi kelompok penduduk adalah nilai rata-rata
kebutuhan, sedangkan pada kecukupan protein dan zat gizi lain adalah nilai
rata-rata kebutuhan ditambah dengan 2 kali simpangan baku(2 SD).
3.4 Kegunaan Angka Kecukupan Gizi
Kegunaan Angka Kecukupan Gizi yang
dianjurkan adalah sebagai berikut.
1. Untuk menilai kecukupan gizi yang telah
dicapai melalui konsumsi, makanan bagi penduduk/golongan masyarakat tertentu
yang didapatkan dari hasil survei gizi/makanan;
2.
Untuk merencanakan pemberian makanan tambahan balita maupun untuk perencanaan
institusi;
3. Untuk merencanakan penyediaan pangan tingkat
regional maupun nasional;
4. Untuk patokan label gizi makanan yang dikemas
apabila perbandingan dengan angka kecukupan gizi diperlukan;
5. Untuk bahan pendidikan gizi.
3.5 Faktor Yang Mempengaruhi Kecukupan Gizi
Di samping kegunaan kecukupan gizi tersebut yang mempunyai beberapa
keterbatasan. Kecukupan gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sebagai
berikut.
1. Tahap pertumbuhan
dan perkembangan tubuh.
2. Ukuran dan komposisi
tubuh.
3. Jenis kelamin.
4. Keadaan kesehatan
tubuh.
5. Keadaan fisiologis
tubuh.
6. Kegiatan fisik.
7. Lingkungan.
8. Mutu makanan.
9. Gaya hidup.
Angka kecukupan gizi yang sudah ditetapkan untuk orang Indonesia meliputi
energi, protein, vitamin A, vitamin D, vitamin E, vitamin K, vitamin C, tiamin,
riboflavin, niacin, piridoksin, vitamin B12, asam folat, kalsium, fosfor,
magnesium, besi, seng, iodium, mangan, selenium, dan fluor. Angka kecukupan
energi tingkat nasional yang pada taraf konsumsi 2000 kkal dan taraf persediaan
2200 kkal. Sedangkan angka kecukupan protein tingkat nasional pada taraf
konsumsi 52 gram dan taraf persediaan 57 gram. Kecukupan gizi untuk pelabelan
produk makanan yang dikemas disebut dengan acuan label gizi (ALG).
3.6 Prinsip
Menyusun Menu Seimbang
1. Bahan makanan mempunyai tiga fungsi bagi
seseorang, yaitu fungsi biologi, psikologi dan sosial.
2. Makanan dapat dikelompokkan menurut slogan
empat sehat lima sempurna menjadi lima golongan, yaitu
makanan pokok, lauk pauk, sayur-sayuran, buah dan susu
3. Pemilihan bahan makanan dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu : keadaan psikologi, pendidikan, pendapatan, sosial
budaya dan geografi
4.
Dalam memilih bahan makanan perlu memperhatikan jenis dan tanda kerusakan bahan
makanan serta ciri-ciri bahan makanan yang baik
5.
Pengertian menu seimbang adalah susunan hidangan beberapa macam makanan yang
mengandung energi dan zat gizi secara cukup, baik jenis maupun jumlahnya.
6.
Manfaat yang diperoleh dari menyusun menu seimbang adalah kebutuhan zat gizi
dapat terpenuhi; dapat memilih bahan makanan yang baik, dan sesuai dengan
keadaan sosial, ekonomi dan budaya; mengurangi kehilangan zat gizi selama
penyiapan makanan; serta mengurangi kebosanan akan menu makanan
7.
Dalam merencanakan menu seimbang perlu memperhatikn berbagai faktor, yaitu :
kecukupan zat gizi, pemilihan bahan makanan yang baik dan sesuai , serta
penyelenggaraan makanan
8.
Proses yang harus dilakukan dalam menyusun menu adalah menentukan kecukupan
gizi, menentukan hidangan, penentuan pemilihan bahan makanan, serta pengolahan
bahan makanan
3.7 Cara Mengukur Angka Kecukupan Gizi
Angka Kecukupan
Gizi (AKG) setiap individu akan berbeda sesuai dengankondisi masing-masing.
Untuk mengukur AKG bagi orang dewasa secara cepat,kebutuhan kalori/energi dapat
menggunakan rumus sebagai berikut:
Jenis Kelamin
|
Angka Kecukupan
Gizi ( AKG )
|
||
Ringan
|
Sedang
|
Berat
|
|
Laki – Laki
|
1,56 x BMR
|
1,76 x BMR
|
2,10 x BMR
|
Perempuan
|
1,55 x BMR
|
1,70 x BMR
|
2,00 x BMR
|
Prinsip untuk
menentukan Angka Kecukupan Energi didasarkan pada pengeluaran energi dimana
komponen Basal Metabolic Rate merupakan komponen utama. Nilai BMR ditentukan
oleh berat dan susunan tubuh serta umur dan jenis kelamin. Secara sederhana
nilai BMR dapat ditaksir dengan menggunakan rumus regresi linier sebagai
berikut
Rumus untuk menaksir nilai BMR
Kelompok Umur ( Tahun )
|
BMR ( kkal/hari )
|
|
Laki - laki
|
Wanita
|
|
0 – 3
|
60,9 BB + 54
|
61,0 B + 51
|
3 – 10
|
22,7 BB + 495
|
22,5 B + 499
|
10 – 18
|
17,5 BB + 651
|
12,2 B + 746
|
18 – 30
|
15,3 BB + 679
|
14,7 B + 496
|
30
– 60
|
11,6 BB + 879
|
8,7 B + 829
|
> 60
|
13,5 BB + 487
|
10,5 B + 596
|
Sumber : FAO/WHO/UNU, 1985 (dengan penyesuaian) (dikutip
dari Widyakarya Pangan dan Gizi VI, 1998)
Keterangan :
BB = Berat Badan (dapat digunakan actual weight atau
BB ideal/norma tergantung tujuan)
Dengan komposisi makanan
sehari 60% dari sumber karbohidrat, 20% dari protein dan 20% dari lemak.
Kecukupan protein yang dianjurkan adalah 0,8 gram/kgBB/hari. Konsumsi protein
yang berlebih dapat membebani fungsi ginjal. Pada kondisi tertentu, seperti
gizi buruk atau masa penyembuhan konsumsi protein dapat ditingkatkan antara
1,2-1,8 gram/kgBB/hari. Dianjurkan memenuhi kebutuhan protein dari protein
nabati dan hewani dengan perbandingan 3:1. Widya Karya Pangan dan Gizi VI tahun
1998, menetapkan AKG bagi orang dewasa secara nasional berdasarkan kebutuhan
energi/kalori dari protein, sebagai berikut:
Indikator
Tingkat
|
Konsumsi Tingkat
|
Persediaan
|
Energi
|
2.150 K Kalori
|
2.500 K Kalori
|
Protein
|
46,2 gram
|
55 gram
|
(9 gram protein ikan, 6 gram protein hewani lain dan 40
gram protein nabati)
AKG diatas bila kita jabarkan menurut takaran
konsumsi makanan sehari pada orang dewasa umur 20-59 tahun, yaitu:
nasi/pengganti 4-5 piring, lauk hewani 3-4 potong, lauk nabati 2-4 potong,
sayuran 1 ½ - 2 mangkok dan buah-buahan 2-3 potong. Dengan catatan dalam
keadaan berat badan ideal.
3.8 Konsumsi Pangan dan Kecukupan Gizi
Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau
jumlah pangan, secara tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau
sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis
dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah upaya untuk memenuhi keinginan makan
(rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi
yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan
emosional atau selera, sedangkan tujuan
sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat (Sedioetama
1996). Konsumsi pangan merupakan faktor
utama untuk memenuhi kebutuhan gizi yang selanjutnya bertindak
menyediakan energy bagi tubuh, mengatur proses metabolisme, memperbaiki
jaringan tubuh serta untuk pertumbuhan (Harper et al.1986).
Konsumsi,
jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Harper et al.
(1986), faktor-faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis,
jumlah produksi dan ketersediaan pangan. Untuk tingkat konsumsi (Sedioetama 1996),
lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi.
Kualitas pangan mencerminkan adanya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang
terdapat dalam bahan pangan, sedangkan kuantitas pangan mencerminkan jumlah
setiap gizi dalam suatu bahan pangan.
Untuk mencapai keadaan gizi yang baik, maka unsur kualitas dan kuantitas harus
dapat terpenuhi.
Apabila tubuh
kekurangan zat gizi, khususnya energi dan protein, pada tahap awal akan meyebabkan rasa lapar dan dalam jangka
waktu tertentu berat badan akan menurun
yang disertai dengan menurunnya produktivitas kerja. Kekurangan zat gizi
yang berlanjut akan menyebabkan status
gizi kurang dan gizi buruk. Apabila tidak ada
perbaikan konsumsi energi dan protein yang mencukupi, pada akhirnya tubuh
akan mudah terserang penyakit infeksi yang selanjutnya dapat menyebabkan
kematian (Hardinsyah dan Martianto 1992).
Kecukupan gizi adalah rata-rata asupan gizi
harian yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan gizi bagi hampir semua (97,5%) orang sehat dalam kelompok
umur, jenis kelamin dan fisiologis
tertentu. Nilai asupan harian zat
gizi yang diperkirakan dapat memenuhi
kebutuhan gizi mencakup 50% orang sehat dalam kelompok umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu disebut
dengan kebutuhan gizi (Hardinsyah
dan Tampubolon 2004).
Kecukupan energi dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu umur, jenis kelamin, ukuran
tubuh, status fisiologis, kegiatan, efek termik, iklim dan adaptasi. Untuk kecukupan protein dipengaruhi oleh
faktor-faktor umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologi, kualitas protein, tingkat
konsumsi energi dan adaptasi (Hardinsyah dan
Tampubolon 2004).
3.9 Susu sebagai Sumber Kalsium
Susu sebagaimana bahan pangan hewani lainnya
yang dikenal kaya dengan kandungan gizi,
tingkat konsumsinya semakin meningkat di seluruh dunia. Menurut Bruinsma (2003), antara tahun 1997/1998
hingga tahun 2030, konsumsi susu dan produk
olahannya di negara-negara berkembang
konsumsinya diperkirakan akan meningkat dari 45 kg menjadi 66 kg per kapita dan di
negara-negara maju meningkat dari 212 kg
menjadi 221 kg per kapita. Selain susu, konsumsi pangan hewani lainnya
juga akan meningkat. Konsumsi daging
setiap tahunnya di negara-negara berkembang akan meningkat dari 25,5 kg menjadi 37 kg per kapita,
sementara di negara-negara maju akan meningkat dari 88 kg menjadi 100 kg per
kapita. Untuk telur, konsumsi akan meningkat
dari 6,9 kg menjadi 8,9 kg di negara-negara berkembang dan di
negara-negara maju meningkat dari 13,5 kg menjadi 13,8 kg per kapita.
Selain mengandung kalsium, susu juga
mengandung hampir seluruh dari zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia.
Pada pedoman gizi empat sehat lima sempurna (4S5S), yang pertama kali dicetuskan oleh
”Bapak Gizi Indonesia”
yaitu Prof. Poerwo Sudarmo pada tahun
1950-an, susu dikategorikan sebagai bahan pangan yang dapat menyempurnakan
(Depkes 2002). Konsumsi susu secara nyata memacu perbaikan minera tulang
pada wanita remaja. Wanita berusia 12
tahun yang mengonsumsi dua gelas susu dengan kadar lemak rendah setiap hari
mempunyai peningkatan yang sangat besar pada kepadatan dan massa
tulang, akan tetapi tidak menambah berat massa
lemak dibandingkan dengan kelompok kontrol (Cadogan et al. 1997). Susu mempunyai peranan penting
untuk mencegah osteoporosis. Susu adalah sumber kalsium dan fosfor yang sangat
penting untuk pembentukan tulang
(Khomsan 2004). Menurut Wattiaux (2005), kalsium dan fosfor dari susu lebih
mudah dicerna, hal ini terutama dihubungkan dengan adanya kasein yang merupakan
protein utama susu, yang dapat membantu meningkatkan daya serap kalsium.
Berbagai
faktor, seperti genetik dan lingkungan (gizi dan aktivitas fisik) mempengaruhi
kesehatan tulang dan risiko terhadap osteoporosis. Di antara faktor gizi, kecukupan konsumsi kalsium adalah
faktor yang penting pada seluruh tahap kehidupan. Usia muda adalah saat untuk
memaksimalkan kemampuan genetis dalam
pencapaian massa puncak pertumbuhan tulang, dan
usia lanjut adalah saat untuk memelihara massa
tulang dan meminimalkan kehilangan massa
tulang seiring dengan bertambahnya usia.
Selain
kalsium terdapat zat gizi lain seperti protein, fosfor, magnesium, potasium,
seng, vitamin A dan D yang juga membantu menjaga kesehatan tulang. Walaupun
banyak para peneliti lebih menitikberatkan penelitiannya pada zat gizi
tunggal, akan tetapi fakta bahwa
mengonsumsi zat gizi secara alami dari pangan yang kaya zat gizi seperti susu
dan produk olahan lainnya dapat memperbaiki status mineral tulang dan membantu
mengurangi risiko terjadinya osteoporosis (Heaney dan Whiting 2004).
Wanita yang
mengonsumsi sedikit susu pada masa anak-anak dan remaja mempunyai massa tulang yang berisiko tinggi tehadap
kerapuhan saat dewasa. Wanita berumur 20
– 49 tahun, yang sewaktu kecil
mengonsumsi susu kurang dari satu gelas sehari,
mempunyai kandungan mineral tulang yang lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang mengonsumsi susu lebih dari satu
gelas sehari (Kalkwarf et al. 2003). Hasil
penelitian Du (2002), juga
menemukan bahwa remaja wanita yang mengonsumsi susu mempunyai kepadatan tulang yang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tidak atau
hanya sedikit mengonsumsi susu.
Wanita usia
remaja yang meningkatkan asupan kalsium untuk memenuhi kecukupan yang dianjurkan dengan mengonsumsi
lebih banyak susu, keju dan yogurt pada
menu makanan mereka, memperlihatkan peningkatan kepadatan tulang dibandingkan dengan wanita yang hanya
mengonsumsi makanan secara normal.
Peningkatan
asupan susu atau produk olahannya juga ternyata tidak berhubungan dengan
peningkatan lemak tubuh (Chan et al. 1995).
3.10 Kalsium dan Kepadatan Tulang
Kalsium dibutuhkan untuk pertumbuhan normal dan perkembangan kerangka
tubuh. Selama pertumbuhan dan pematangan kerangka, yaitu hingga usia awal dua
puluhan pada manusia, kalsium berkumpul di kerangka dengan rataan 150 mg per
hari. Selama masa pematangan, tubuh dapat menjadi berlebihan atau kekurangan
dalam keseimbangan kalsium. Mulai usia sekitar 50 an pada pria dan saat
menopause pada wanita, keseimbangan tulang menjadi negatif dan kehilangan
tulang dari seluruh tempat kerangka. Kehilangan tulang ini dihubungkan dengan
makin meningkatnya kejadian patah tulang, khususnya pada wanita. Kecukupan
asupan kalsium adalah sangat penting
untuk mencapai massa tulang puncak
optimal dan mengurangi laju kehilangan tulang karena bertambahnya usia
(National Institute of Health 1994). Suatu keseimbangan kalsium positif
dibutuhkan sebelum pertumbuhan tulang terjadi. Asupan kalsium dan pembentukan
tulang menentukan keseimbangan kalsium selama pertumbuhan.
Pada umumnya kalsium tersimpan di dalam kerangka tulang (Eastwood 2003). Asupan kalsium mempengaruhi pencapaian
massa tulang
puncak dan juga zat ini dengan baik mampu untuk mempertahankan kalsium kerangka
sepanjang kehidupan.
Kalsium adalah zat gizi yang penting, yang melibatkan sangat banyak
proses metabolis dan memberikan kekuatan mekanis pada tulang dan gigi.
Homeostatis kalsium negatif disebabkan
oleh kurangnya asupan makanan, penyerapan yang lemah atau pengeluaran yang
berlebihan yang mengakibatkan kehilangan kalsium dari tulang dan selanjutnya
dapat meningkatkan kejadian patah tulang. Dalam hal ini terdapat data secara
epidemiologis yang menunjukkan adanya hubungan positif antara asupan kaslium
dan kepadatan tulang (Wimalawansa
2004).
Selain jumlah kalsium yang cukup
dalam makanan yang dikonsumsi, penyerapan kalsium dari makanan tersebut juga
merupakan faktor penting yang menentukan kalsium untuk membangun dan memelihara
tulang. Dengan demikian, diperlukan identifikasi komponen pangan dan atau
komposisi pangan fungsional yang secara positif dapat mempengaruhi penyerapan
kalsium yang dapat menjamin bahwa bioavailabilitas kalsium dari bahan pangan
dapat diharapkan dengan baik (Kennefick dan Cashman 2000).
3.11 Vitamin D dan Kepadatan Tulang
Vitamin secara umum merupakan
senyawa organik yang selalu dibutuhkan tubuh
yang berfungsi
untuk metabolisme sel secara normal, pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan
tubuh (Keith 1994). Salah satu vitamin
yang terkait dengan pembentukan jaringan
tulang adalah vitamin D.
Vitamin D merupakan salah satu vitamin yang fungsinya di dalam tubuh
cukup unik karena mirip dengan fungsi hormon. Fungsi biologis utama dari
vitamin D adalah mempertahankan konsentrasi kalsium dan fosfor serum dalam
kisaran normal dengan meningkatkan efisiensi usus halus untuk menyerap
mineral-mineral tersebut dari makanan. Sumber utama vitamin D terutama
diperoleh dari susu serta berbagai produk olahannya (Muhilal dan Sulaeman
2004).
Status vitamin D yang rendah
banyak terjadi pada lansia yang kurang terkena sinar matahari dan vitamin D
plasma yang rendah, dihubungkan dengan peningkatan risiko patah tulang panggul
( Lips 2001). Suatu penelitian di Boston
menunjukkan bahwa keragaman kepadatan tulang
terkait dengan perubahan musim, yang dihubungkan dengan pemaparan dengan
sinar matahari dan status vitamin D (Krall dan Dawson-Hughes,1999).
3.12 Vitamin C dan Kepadatan Tulang
Selain vitamin D, vitamin C juga cukup mempunyai peranan dalam
pembentukan tulang. Fungsi vitamin C antara lain adalah sebagai antioksidan
yang larut dalam air dan juga berperan dalam berbagai reaksi hidroksilasi yang
dibutuhkan untuk sintesis kolagen, karnitin dan seronin. Dengan demikian
vitamin C bermanfaat untuk meningkatkan aktivitas tubuh (Keith 1994). Selain
itu, fungsi vitamin C pada tubuh juga sebagai anti radang gusi (scurvy),
antioksidan, pertahanan tubuh dan penyembuhan luka. Sumber utama dapat
diperoleh dari buah dan sayuran segar (Setiawan dan Rahayu 2004).
Pada proses pembentukan tulang, vitamin C berfungsi untuk stabilitas kolagen
dan pembentukan tulang. Defisiensi vitamin C dihubungkan dengan terganggunya
hubungan antar jaringan tubuh (Peterkofsky 1991). Serum asam askorbat (vitamin
C) pada pria berhubungan nyata dengan kepadatan tulang . Pada wanita pasca
menopause dengan sejarah merokok dan penggunaan esterogen, peningkatan 1
standar deviasi (SD) kadar serum asam askorbat dapat dihubungkan dengan
penurunan prevalensi patah tulang sebesar 45%. Akan tetapi, pada wanita dengan
sejarah tidak merokok dan tidak
menggunakan esterogen, kadar serum asam askorbat tidak tampak berhubungan
dengan rendahnya kepadatan tulang (Tucker 2003).
3.13 Fosfor dan Kepadatan Tulang
Sebagai suatu bahan anorganik,
jumlah fosfor dalam tubuh manusia terbanyak ke dua setelah kalsium, di mana 85%
fosfor ini terikat dalam kerangka. Fosfor dapat diperoleh dari berbagai bahan
pangan, seperti daging, unggas, ikan, telur, susu dan produk olahannya,
kacang-kacangan, biji-bijian dan sayur-sayuran. Tujuan utama mengonsumsi fosfor
adalah untuk menunjang pertumbuhan dan sebagai pengganti fosfor yang hilang
dari tubuh. Konsumsi fosfor telah meningkat 10%
hingga 15% lebih dari 20 tahun terakhir karena peningkatan penggunaan
garam fosfat sebagai bahan pangan tambahan (food additives) dan pada minuman
berkarbonat (Ilich dan Kerstetter 2000).
Hal yang perlu dicatat adalah bahwa database zat gizi belum mencerminkan
perubahan ini dan masih di bawah perkiraan asupan fosfor secara nyata
(Calvo dan Park 1996).
Walaupun fosfor adalah zat gizi
yang penting, perlu dipertimbangkan bahwa jumlah yang berlebihan dapat merusak
tulang. Sebagai contoh, suatu
peningkatan konsumsi makanan yang mengandung fosfor akan meningkatkan
konsentrasi fosfor serum, akan menghasilkan suatu penurunan sementara kalsium
terionisasi dalam serum mengakibatkan peningkatan sekresi hormon paratiroid
yang potensial menyerap tulang.
Fungsi utama hormon paratiroid adalah untuk mencegah hipokalsemia dengan
meningkatkan penyerapan kalsium pada tulang. Hipotesis bahwa asupan fosfor yang
berlebihan adalah berbahaya pada tulang telah dicobakan pada orang dewasa yang
secara terkontrol mengonsumsi makanan yang mengandung 1660 mg fosfor dan 420 mg
kalsium. Setelah 24 jam, makanan yang dikonsumsi menghasilkan peningkatan
indeks aktivitas hormon paratiroid (Calvo et al. 1988). Penelitian lain menenemukan bahwa konsumsi
pangan yang banyak mengandung fosfor tinggi seperti minuman berkarbonat
mempunyai pengaruh yang tidak menguntungkan bagi tubuh. Beberapa studi telah
menunjukkan adanya penurunan massa
tulang dan peningkatan kejadian patah
tulang akibat konsumsi minuman berkarbonat (Wyshak et al.1989 ; Petridou et al. 1997.) Akan
tetapi hasil penelitian Whitting et al. (2002) menunjukkan tidak terdapat
hubungan nyata antara asupan fosfor dengan kepadatan tulang.
3.14 Protein dan Kepadatan Tulang
Asupan protein harian seseorang
seimbang dengan nitrogen yang dikeluarkan tubuh untuk menjaga
keseimbangan energi pada tingkat aktivitas sedang. Sumber utama protein adalah susu, ikan,
telur, daging dan kacang-kacangan (Hardinsyah danTampubolon 2004).
Sejumlah penelitian menunjukkan
bahwa asupan protein yang tinggi terkait
erat dengan keluarnya kalsium melalui urin. Hal ini karena adanya
peningkatan muatan asam yang bertindak sebagai
buffer kalsium tulang, asupan protein yang lebih tinggi diperkirakan
dapat dihubungkan dengan lebih rendahnya kepadatan tulang. Secara umum juga
diasumsikan bahwa kandungan belerang yang relatif tinggi pada daging
menyebabkan adanya muatan asam endogenus yang menyebabkan berkurangnya kepadatan
tulang (Tucker 2003). Heaney (2001) menyatakan bahwa asam dari protein hewani
tidak lebih tinggi daripada protein nabati. Sebastian et al. (2001) menegaskan bahwa produk asam bikarbonat zat non-protein dari tumbuhan dapat
menetralisir asam belerang , karena sumber protein tumbuhan lebih banyak
dikonsumsi daripada sumber proten hewani. Suatu penelitian membuktikan bahwa
asupan kalsium yang tinggi tidak dapat mencegah keseimbangan kalsium yang
negatif dan berkurangnya kepadatan tulang
yang disebabkan
asupan tinggi protein (Allen et al. 1979). Penelitian lain menunjukkan bahwa
tidak terdapat keterkaitan yang nyata antara asupan protein dengan kepadatan
tulang (Whitting et al. 2002)
Pada umumnya penelitian yang
memperlihatkan konsumsi protein yang tinggi berpengaruh negatif pada kepadatan
tulang hanya dilakukan pada waktu yang singkat dan tidak dilakukan dalam waktu
yang lebih lama. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada masyarakat yang
hidup bebas, kekurangan asupan protein berkontribusi pada keseimbangan kalsium
yang negatif dan juga dihubungkan dengan peningkatan risiko patah tulang pada
saat usia lanjut (Patterson et al. 1996 ; Bastow et al. 1983).
Penelitian yang dilakukan oleh
Iowa Women’s Health Study (Munger
et al. 1999) menunjukkan bahwa asupan protein hewani yang lebih tinggi
sebesar 70% berhubungan dengan pengurangan
kejadian patah tulang panggul. Penelitian penggunaan suplementasi
protein pada wanita lansia setelah kejadian patah tulang panggul, menunjukkan
adanya pengaruh menguntungkan pada kepadatan tulang dan kekuatan tubuh.
Dari penelitian-penelitian ini menunjukan bahwa kekurangan protein,
khususnya saat lansia, berkontribusi pada terjadinya osteoporosis.
3.15 Energi dan Kepadatan Tulang
Peningkatan asupan energi dapat
meningkatkan berat dan tinggi badan. Terdapat hubungan yang konsisten antara
berat badan dan kepadatan tulang. Pengaruh
positif yang kuat yang terdapat pada berat badan dan kepadatan tulang
diduga disebabkan adanya tekanan dari
berat badan pada kerangka tubuh (Felson et al. 1993 ; Harris dan Dawson-Hughes.
1996). Demikian juga, kehilangan berat
badan 10% dapat menyebabkan menurunnya kepadatan tulang sebesar 1% hingga 2%
(Compston et al. 1992 ; Hyldstrup et al.
1993). Kondisi kehilangan berat badan yang lebih berat karena kekurangan gizi dapat menimbulkan
faktor risiko osteoporosis. Risiko ini juga dipengaruhi oleh banyak faktor
seperti rendahnya asupan gizi makro (termasuk protein) dan mikro (termasuk
kalsium, vitamin D, vitamin K), yang dapat meningkatkan kecenderungan mudah
jatuh karena lemahnya kekuatan otot dan berkurangnya perlindungan lapisan lembut pada bagian
panggul (Ilich dan Kerstetter 2000).
Berkurangnya kepadatan tulang (dari osteopenia hingga osteoporosis berat)
dan meningkatkan kerapuhan ternyata berhubungan dengan kesalahan pola makan,
khususnya pada penderita anorexia
nervosa (Power 1999). Kondisi ini tidak hanya terjadi pada wanita, tetapi juga
dapat terjadi pada pria (Andersen et al.
2000). Khusus pada kasus anorexia nervosa, peningkatan penyerapan tulang dan
menurunnya pembentukan tulang menyebabkan kehilangan tulang dan kerusakan
struktur tulang (Lennkh et al. 1999).
Secara etiologi, kehilangan tulang
dan demineralisasi pada anorexia nervosa
disebabkan oleh banyak faktor. Hal ini pada umumnya juga diakibatkan oleh lamanya kejadian amennorhea (dan yang masih ada hubungan
dengannya), hipoestrogenemia, hiperkortisolemia, rendahnya indeks massa tubuh, rendahnya lemak dan massa tubuh, akibat sangat terbatasnya asupan
zat gizi khususnya kalsium, vitamin D dan protein (Power 1999). Secara
patologis, mudah patahnya tulang punggung dan
panggul dapat terjadi dalam waktu 7 hingga 15 tahun setelah
terjadinya kesalahan pola makan. Hal yang paling penting untuk peningkatan
kepadatan tulang dan mengurangi risiko osteoporosis pada penderita kesalahan
pola pangan adalah dengan meningkatkan berat badan (Power 1999).
3.16 Zat Besi dan Kepadatan Tulang
Zat besi merupakan zat yang sangat
dibutuhkan oleh tubuh. Defisiensi zat besi dapat menyebabkan menurunnya kemampuan
untuk beraktivitas, kelelahan, dan muka pucat. Keberadaan zat besi besi dalam
tubuh dapat dilihat dari keberadaan hemoglobin (Hb), ferritin dan transferin.
Menurut Sauberlich (1999), pengukuran Hb, ferritin dan transferin selain mudah
dilakukan, juga lebih dapat dipercaya untuk menggambarkan status besi dalam
darah. Dari hasil penelitian yang dilakukan, terdapat hubungan antara massa tulang dengan
ferritin dalam percobaan klinis selama empat tahun melalui pemberian suplementasi kalsium pada wanita remaja.
Terdapat suatu kecenderungan hubungan yang positif antara kepadatan tulang
lengan bawah dan ferritin serum awal.
Suatu kecenderungan yang sama terjadi antara kepadatan tulang tubuh total
dan kandungan ferritin serum selama
empat tahun studi, tetapi hanya pada kelompok plasebo (Ilich
et al. 1998). Studi-studi berikutnya sangat diperlukan untuk
menjelaskan kecenderungan tersebut,
khususnya pada masyarakat yang menderita defisiensi zat besi (Ilich dan Kerstetter 2000).
Penyerapan zat besi dapat dihambat
oleh asupan yang tinggi mineral lainnya dan
trace element, khususnya kalsium. Sejumlah studi telah menunjukkan
adanya pengaruh hambatan dari kalsium pada zat besi dari berbagai suplemen
(garam) atau bahan pangan yang
mengandung kalsium (Gleerup et al. 1995 ; Minihane dan Fairweather-Tait 1998).
Akan tetapi, apabila konsumsi kalsium yang terjadi terpisah dari makanan yang
mengandung zat besi, pengaruhnya tidak jelas (Turnlund et al. 1990 ;
Reddy dan Cook 1997). Terdapat catatan
yang berlawanan, bahwa zat besi yang tinggi dapat menjadi racun pada sel tulang dan berkontribusi pada
terjadinya osteoporosis atau penyakit tulang
lainnya pada masyarakat yang metabolisme zat besinya buruk dan
mengonsumsi zat besi berlebihan
(Schnitzler et al. 1994). Walaupun pada umumnya sarapan pagi dengan sereal dan terigu telah difortifikasi dengan zat
besi, akan tetapi bioavailabilitas dari bahan
tersebut rendah. Zat besi juga ditemukan pada sayur-sayuran berwarna
hijau gelap (dengan bioavailabilitas
yang lebih rendah). Sumber zat besi yang
terbaik adalah dari daging merah,
khususnya hati dan organ daging lainnya (Ilich dan Kerstetter 2000).
BAB IV
PENUTUP
Menurut Prof Soekirman Ph.D., Guru Besar Ilmu Gizi IPB Bogor, Masalah
Gizi adalah Gangguan kesehatan dan kesejahteraan seseorang, kelompok
orang atau masyarakat sebagai akibat adanya ketidak seimbangan antara asupan
(intake) dengan kebutuhan tubuh akan makanan dan pengaruh interaksi penyakit
(infeksi).
Angka kecukupan gizi (AKG)
adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan untuk hidup sehat
setiap hari bagi hampir semua penduduk menurut kelompok umur, jenis kelamin,
dan kondisi fisiologis, seperti kehamilan dan menyusui. Konsep kecukupan energi
kelompok penduduk adalah nilai rata-rata kebutuhan, sedangkan pada kecukupan
protein dan zat gizi lain adalah nilai rata-rata kebutuhan ditambah dengan 2
kali simpangan baku(2
SD).
Kegunaan Angka Kecukupan Gizi yang
dianjurkan adalah sebagai berikut.
1. Untuk menilai kecukupan gizi yang telah
dicapai melalui konsumsi, makanan bagi penduduk/golongan masyarakat tertentu
yang didapatkan dari hasil survei gizi/makanan;
2.
Untuk merencanakan pemberian makanan tambahan balita maupun untuk perencanaan
institusi;
3. Untuk merencanakan penyediaan pangan tingkat
regional maupun nasional;
4. Untuk patokan label gizi makanan yang dikemas
apabila perbandingan dengan angka kecukupan gizi diperlukan;
5. Untuk bahan pendidikan gizi.
Faktor Yang Mempengaruhi Kecukupan
Gizi
Di samping kegunaan kecukupan gizi tersebut yang mempunyai beberapa
keterbatasan. Kecukupan gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu sebagai
berikut.
1. Tahap pertumbuhan
dan perkembangan tubuh.
2. Ukuran dan komposisi
tubuh.
3. Jenis kelamin.
4. Keadaan kesehatan
tubuh.
5. Keadaan fisiologis
tubuh.
6. Kegiatan fisik.
7. Lingkungan.
8. Mutu makanan.
9. Gaya hidup.
DAFTAR PUSTAKA
1. Almatsier, S. ”Prinsip Dasar Ilmu Gizi”. Penerbit : PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta : 2006.
2. Sediaoetama, Drs. Ahmad Djaeni. ”Ilmu Gizi”. Penerbit : Dian Rakyat. Jakarta : 2006.
3. Moehdi, S. ” Ilmu Gizi”. Penerbit : Papasinar Sinanti. Jakarta : 2002.
4. Kartasapoetra, Drs.G. ”Ilmu Gizi”. Penerbit : Rineka Cipta. Jakarta : 2003.
5. http//www.google.com//gizi buruk//2008.
6. http//www.google.co.id//journal tentang protein.// 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar