KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat ALLAH SWT. yang telah
melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga makalah Filsafat Ilmu yaitu tentang
“Filsafat Modern dan Filsafat Positivisme” ini dapat terselesaikan
sebagaimana mestinya. Shalawat serta salam tidak lupa kita haturkan kepada
junjungan Baginda Nabi Besar Muhammad SAW, atas bimbingan Beliau sehingga kita
dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Ucapan terimakasih kepada dosen pengampu mata
kuliah Filsafat Ilmu yang telah memberikan kami kesempatan untuk membuat
makalah ini sebagai pedoman, acuan, dan sumber belajar.
Akhir kata, Penyusun menyadari bahwa masih
terdapat banyak kesalahan baik dari segi bahasa, tulisan, maupun kalimat yang
kurang tepat dalam makalah ini, oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca sangat
diharapkan demi kesempurnaan makalah berikutnya.
Pancor,17 Januari 2012
Penyusun
DAFATAR ISI
KATAPENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Batasan
Masalah
BAB II PEMBAHASAN
FILSAFAT MODERN
A.
Renaisans
B.
Rasionalisme
C.
Empirisme
FILSAFAT POSITIVISME
A. Positivisme Logis
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tradisi
pemikiran Barat dewasa ini merupakan paradigma bagi pengembangan budaya Barat
dengan implikasi yang sangat luas dan mendalam di semua segi dari seluruh lini
kehidupan. Memahami tradisi pemikiran Barat sebagaimana tercermin dalam
pandangan filsafatnya merupakan kearifan tersendiri, karena kita akan dapat
melacak segi-segi positifnya yang layak kita tiru dan menemukan sisi-sisi
negatifnya untuk tidak kita ulangi.
Ditinjau dari
sudut sejarah, filsafat Barat memiliki empat periodisasi. Periodisasi ini
didasarkan atas corak pemikiran yang dominan pada waktu itu. Pertama, adalah
zaman Yunani Kuno, ciri yang menonjol dari filsafat Yunani kuno adalah
ditujukannya perhatian terutama pada pengamatan gejala kosmik dan fisik sebagai
ikhtiar guna menemukan asal mula (arche) yang merupakan unsur awal
terjadinya gejala-gejala. Para filosof pada
masa ini mempertanyakan asal usul alam semesta dan jagad raya, sehingga ciri
pemikiran filsafat pada zaman ini disebut kosmosentris. Kedua, adalah
zaman Abad Pertengahan, ciri pemikiran filsafat pada zaman ini di sebut teosentris.
Para filosof pada masa ini memakai pemikiran filsafat untuk memperkuat
dogma-dogma agama Kristiani, akibatnya perkembangan alam pemikiran Eropa pada
abad pertengahan sangat terkendala oleh keharusan untuk disesuaikan dengan
ajaran agama, sehingga pemikiran filsafat terlalu seragam bahkan dipandang
seakan-akan tidak penting bagi sejarah pemikiran filsafat sebenarnya. Ketiga,
adalah zaman Abad Modern, para filosof zaman ini menjadikan manusia sebagai
pusat analisis filsafat, maka corak filsafat zaman ini lazim disebut antroposentris.
Filsafat Barat modern dengan demikian memiliki corak yang berbeda dengan
filsafat Abad Pertengahan. Letak perbedaan itu terutama pada otoritas kekuasaan
politik dan ilmu pengetahuan. Jika pada Abad Pertengahan otoritas kekuasaan
mutlak dipegang oleh Gereja dengan dogma-dogmanya, maka pada zaman Modern
otoritas kekuasaan itu terletak pada kemampuan akal manusia itu sendiri.
Manusia pada
zaman modern tidak mau diikat oleh kekuasaan manapun, kecuali oleh kekuasaan
yang ada pada dirinya sendiri yaitu akal. Kekuasaan yang mengikat itu adalah
agama dengan gerejanya serta Raja dengan kekuasaan politiknya yang bersifat
absolut. Keempat, adalah Abad Kontemporer dengan ciri pokok pemikiran logosentris,
artinya teks menjadi tema sentral diskursus filsafat.
Positivisme
adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan
metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Positivisme
menegaskan bahwa hanya pengetahuan yang otentik adalah yang didasarkan pada
pengalaman rasa dan verifikasi positif. Sebagai suatu pendekatan terhadap filsafat
ilmu yang berasal dari pemikir Pencerahan seperti Henri de Saint-Simon dan
Pierre-Simon Laplace, Auguste Comte melihat metode ilmiah sebagaimana
menggantikan metafisika dalam sejarah pemikiran, mengamati ketergantungan
melingkar teori dan observasi dalam ilmu . Positivisme sosiologis kemudian
dirumuskan oleh Émile Durkheim sebagai dasar untuk penelitian sosial. Pada
pergantian abad ke-20 gelombang pertama sosiolog Jerman, termasuk Max Weber dan
Georg Simmel, menolak doktrin, sehingga pendiri tradisi antipositivist dalam
sosiologi. Kemudian antipositivists dan teoretisi positivisme kritis yang
terkait dengan "saintisme"; ilmu sebagai ideologi.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian di atas, maka pembahasan dalam makalah ini akan dibatasi pada filsafat
modern dan pembentukannya yang difokuskan pada tiga masalah inti yaitu
Renaisans, Rasionalisme dan Empirisme dalam rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana filsafat Barat pada era renaisans?
2.
Bagaimana filsafat modern aliran rasionalisme?
3.
Bagaimana filsafat modern aliran empirisme?
4.
Bagaimana Perkembangan Filsafat dengan aliran
Positivisme ?
BAB II
PEMBAHASAN
Filsapat
Modern
A.
Renaisans
Tidak mudah
menentukan batas yang jelas mengenai akhir zaman pertengahan dan awal yang
pasti dari zaman modern. Hal ini disebabkan perbedaan pandangan para ahli
sejarah tentang peralihan zaman pertengahan ke zaman modern. Sebagian ahli
sejarah berpendapat bahwa zaman pertengahan berakhir ketika Konstantinopel
ditaklukkan oleh Turki Usmani pada tahun 1453 M. Peristiwa tersebut dianggap
sebagai akhir zaman pertengahan dan titik awal zaman modern. Ada
juga yang berpendapat bahwa penemuan benua Amerika oleh Columbus pada tahun 1492 M., menandai awal
zaman modern. Para ahli yang lain cenderung
menganggap era gerakan reformasi keagamaan yang dimotori oleh Martin Luther
pada tahun 1517 M., sebagai akhir zaman pertengahan. Namun mayoritas ahli
sejarah mengatakan bahwa akhir abad ke 14 sekaligus menjadi akhir zaman
pertengahan yang ditandai oleh suatu gerakan yang disebut renaissance pada abad
ke 15 dan 16. Dengan demikian abad ke 17 menjadi bagian awal dari zaman
filsafat modern.
Renaisans
berasal dari istilah bahasa Prancis renaissance yang berarti kelahiran
kembali (rebirth). Istilah ini biasanya digunakan oleh para ahli
sejarah untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual yang terjadi di
Eropa, khususnya di Italia sepanjang abad ke 15 dan ke 16. Istilah ini
mula-mula digunakan oleh seorang ahli sejarah terkenal yang bernama Michelet,
kemudian dikembangkan oleh J. Burckhardt (1860) untuk konsep sejarah yang
menunjuk kepada periode yang bersifat individualisme, kebangkitan kebudayaan
antik, penemuan dunia dan manusia, sebagai periode yang dilawankan dengan
periode Abad Pertengahan.
Abad
Pertengahan adalah abad ketika alam pikiran dikungkung oleh Gereja. Dalam
keadaan seperti itu kebebasan pemikiran amat dibatasi, sehingga perkembangan
sains sulit terjadi, demikian pula filsafat tidak berkembang, bahkan dapat
dikatakan bahwa manusia tidak mampu menemukan dirinya sendiri. Oleh karena itu,
orang mulai mencari alternatif. Dalam perenungan mencari alternatif
itulah orang teringat pada suatu zaman ketika peradaban begitu bebas dan maju,
pemikiran tidak dikungkung, sehingga sains berkembang, yaitu zaman Yunani kuno.
Pada zaman Yunani kuno tersebut orang melihat kemajuan kemanusiaan telah
terjadi. Kondisi seperti itulah yang hendak dihidupkan kembali.
Pada
pertengahan abad ke-14, di Italia muncul gerakan pembaruan di bidang keagamaan
dan kemasyarakatan yang dipelopori oleh kaum humanis Italia. Tujuan utama
gerakan ini adalah merealisasikan kesempurnaan pandangan hidup Kristiani
dengan mengaitkan filsafat Yunani dengan ajaran agama Kristen. Gerakan ini
berusaha meyakinkan Gereja bahwa sifat pikiran-pikiran klasik itu tidak dapat
binasa. Dengan memanfaatkan kebudayaan dan bahasa klasik itu mereka berupaya
menyatukan kembali Gereja yang terpecah-pecah dalam banyak sekte.
Tidak dapat
dinafikan bahwa pada abad pertengahan orang telah mempelajari karya-karya para
filosof Yunani dan Latin, namun apa yang telah dilakukan oleh orang pada masa
itu berbeda dengan apa yang diinginkan dan dilakukan oleh kaum humanis. Para humanis bermaksud meningkatkan perkembangan yang
harmonis dari kecakapan serta berbagai keahlian dan sifat-sifat alamiah manusia
dengan mengupayakan adanya kepustakaan yang baik dan mengikuti kultur klasik
Yunani. Para humanis pada umumnya berpendapat
bahwa hal-hal yang alamiah pada diri manusia adalah modal yang cukup untuk
meraih pengetahuan dan menciptakan peradaban manusia. Tanpa wahyu, manusia
dapat menghasilkan karya budaya yang sebenarnya. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa humanisme telah memberi sumbangannya kepada renaisans untuk
menjadikan kebudayaan bersifat alamiah.
Zaman
renaisans banyak memberikan perhatian pada aspek realitas. Perhatian yang
sebenarnya difokuskan pada hal-hal yang bersifat kongkret dalam lingkup alam
semesta, manusia, kehidupan masyarakat dan sejarah. Pada masa itu pula terdapat
upaya manusia untuk memberi tempat kepada akal yang mandiri. Akal diberi kepercayaan
dan porsi yang lebih besar, karena ada suatu keyakinan bahwa akal pasti dapat
menerangkan segala macam persoalan yang diperlukan pemecahannya. Hal ini
dibuktikan dengan perang terbuka terhadap kepercayaan yang dogmatis dan
terhadap orang-orang yang enggan menggunakan akalnya. Asumsi yang digunakan
adalah, semakin besar kekuasaan akal, maka akan lahir dunia baru yang dihuni
oleh manusia-manusia yang dapat merasakan kepuasan atas dasar kepemimpinan akal
yang sehat.
Pada zaman
ini berbagai gerakan bersatu untuk menentang pola pemikiran abad pertengahan
yang dogmatis, sehingga melahirkan suatu perubahan revolusioner dalam pemikiran
manusia dan membentuk suatu pola pemikiran baru dalam filsafat. Zaman renaisans
terkenal dengan era kelahiran kembali kebebasan manusia dalam berpikir
seperti pada zaman Yunani kuno. Manusia dikenal sebagai animal rationale,
karena pada masa ini pemikiran manusia mulai bebas dan berkembang. Manusia
ingin mencapai kemajuan atas hasil usaha sendiri, tidak didasarkan atas campur tangan
Ilahi. Saat itu manusia Barat mulia berpikir secara baru dan berangsur-angsur
melepaskan diri dari otoritas kekuasaan Gereja yang selama ini telah
mengungkung kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu
pengetahuan.
Zaman ini
juga sering disebut sebagai Zaman Humanisme. Maksud ungkapan tersebut adalah
manusia diangkat dari Abad pertengahan. Pada abad tersebut manusia kurang
dihargai kemanusiaannya. Kebenaran diukur berdasarkan ukuran gereja, bukan
menurut ukuran yang dibuat oleh manusia sendiri. Humanisme menghendaki
ukurannya haruslah manusia, karena manusia mempunyai kemampuan berpikir.
Bertolak dari sini, maka humanisme menganggap manusia mampu mengatur dirinya
sendiri dan mengatur dunia. Karena semangat humanisme tersebut , akhirnya agama
Kristen semakin ditinggalkan, sementara pengetahuan rasional dan sains
berkembang pesat terpisah dari agama dan nilai-nilai spiritual.
Renaisans
tidak lahir secara kebetulan, tetapi ada pra kondisi yang mengawali terjadinya
kelahiran tersebut. Menurut Mahmud Hamdi Zaqzuq, ada beberapa faktor penting
yang mempengaruhi kelahiran Renaisans, yaitu:
1) Implikasi
yang sangat signifikan yang ditimbulkan oleh gerakan keilmuan dan filsafat.
Gerakan tersebut lahir sebagai hasil dari penerjemahan ilmu-ilmu Islam ke dalam
bahasa latin selama dua abad, yaitu abad ke-13 dan 14. Bahkan sebelumnya telah
terjadi penerjemahan kitab-kitab Arab di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan.
Hal itu dilakukan setelah Barat sadar bahwa Arab memiliki kunci-kunci khazanah
turas klasik Yunani.
Hasil dari penerjemahan karya-karya Muslim berpengaruh terhadap kurikulum
Eropa Barat secara revolusioner. Terutama di bidang matematika, kedokteran,
astronomi, filologi, fisika, ilmu kimia, geografi, sejarah, musik, teologi, dan
filsafat. Transformasi tersebut menumbuhkan universitas-universitas Eropa abad
keduabelas dan ketigabelas.
Hal itu telah menstimulasi perkembangan lebih lanjut teori dan praktik
kedokteran, memodifikasi doktrin-doktrin teologi, memprakarsai dunia baru dalam
matematika, menghasilkan kontroversi baru dalam teologi dan filsafat.
2) Pasca
penaklukan Konstantinopel oleh Turki Usmani, terjadi migrasi para pendeta dan
sarjana ke Italia dan negara-negara Eropa lainnya. Para
sarjana tersebut menjadi pionir-pionir bagi pengembangan ilmu di Eropa. Mereka
secara bahu-membahu menghidupkan turas klasik Yunani di Florensia, dengan
membawa teks-teks dan manuskrip-manuskrip yang belum dikenal sebelumnya.
3) Pendirian
berbagai lembaga ilmiah yang mengajarkan beragam ilmu, seperti berdirinya Akademi Florensia dan
College de France di
Paris. Dalam universitas-universitas abad keduabelas dan abad ketigabelas, ilmu
pengetahuan telah didasarkan hampir sepenuhnya pad tulisan-tulisan dari para
penulis Muslim atau Yunani, sebagaimana diterjemahkan dari sumber-sumber bahasa
Arab dan Yunani. Ilmu pengetahuan Muslim Aristotelian tetap merupakan inti dari
kurikulum Universitas Paris hingga abad keenambelas. Tidak sampai
pertengahan abad keenambelas dan datangnya Copernicus dalam astronomi,
Paracelsus dalam ilmu kedokteran dan Vesalius dalam anatomi, ilmu pengetahuan
Muslim-Helenistik telah membuka jalan kepada konsep-konsep baru tentang manusia
dan dunianya, sehingga menimbulkan keruntuhan periode abad pertengahan.
Selain itu,
ada beberapa faktor yang dikemukakan Slamet Santoso seperti yang dikutip Rizal
Mustansyir, yaitu:
1.
Hubungan antara kerajaan Islam di Semenanjung Iberia dengan
Prancis membuat para pendeta mendapat kesempatan belajar di Spanyol kemudian
mereka kembali ke Prancis untuk menyebarkan ilmu pengetahuan yang mereka
peroleh di lembaga-lembaga pendidikan di Prancis.
2.
Perang Salib (1100-1300 M) yang terulang enam kali,
tidak hanya menjadi ajang peperangan fisik, namun juga menjadikan para tentara
atau serdadu Eropa yang berasal dari berbagai negara itu menyadari kemajuan
negara-negara Islam, sehingga mereka menyebarkan pengalaman mereka itu
sekembalinya di negara-negara masing-masing.
Pada zaman
renaisans ada banyak penemuan di bidang ilmu pengetahuan. Di antara
tokoh-tokohnya adalah:
1) Nicolaus
Copernicus (1473-1543)
Ia dilahirkan di Torun, Polandia dan
belajar di Universitas Cracow.
Walaupun ia tidak mengambil studi astronomi, namun ia mempunyai koleksi
buku-buku astronomi dan matematika. Ia sering disebut sebagai Founder
of Astronomy. Ia mengembangkan teori bahwa matahari adalah pusat
jagad raya dan bumi mempunyai dua macam gerak, yaitu: perputaran sehari-hari
pada porosnya dan perputaran tahunan mengitari matahari. Teori itu disebut heliocentric
menggeser teori Ptolemaic. Ini adalah perkembangan besar, tetapi yang
lebih penting adalah metode yang dipakai Copernicus, yaitu metode mencakup
penelitian terhadap benda-benda langit dan kalkulasi matematik dari pergerakan
benda-benda tersebut.
2) Galileo
Galilei (1564-1642)
Galileo Galilei adalah salah seorang penemu terbesar di bidang ilmu
pengetahuan. Ia menemukan bahwa sebuah peluru yang ditembakkan membuat suatu
gerak parabola, bukan gerak horizontal yang kemudian berubah menjadi gerak
vertikal. Ia menerima pandangan bahwa matahari adalah pusat jagad raya. Dengan
teleskopnya, ia mengamati jagad raya dan menemukan bahwa bintang Bimasakti
terdiri dari bintang-bintang yang banyak sekali jumlahnya dan masing-masing
berdiri sendiri. Selain itu, ia juga berhasil mengamati bentuk Venus dan
menemukan beberapa satelit Jupiter.
3) Francis
Bacon (1561-1626)
Francis Bacon adalah seorang filosof dan politikus Inggris. Ia belajar di
Cambridge University dan kemudian menduduki
jabatan penting di pemerintahan serta pernah terpilih menjadi anggota parlemen.
Ia adalah pendukung penggunaan scientific methods, ia berpendapat
bahwa pengakuan tentang pengetahuan pada zaman dahulu kebanyakan salah, tetapi
ia percaya bahwa orang dapat mengungkapkan kebenaran dengan inductive
method, tetapi lebih dahulu harus membersihkan fikiran dari prasangka yang
ia namakan idols (arca). Bacon telah memberi kita pernyataan yang
klasik tentang kesalahan-kesalahan berpikir dalam Idols of the Mind.
Pertama, Arca-arca Suku (Idols of the Tribes). Kita condong
menerima bukti-bukti dan kejadian-kejadian yang menguntungkan pihak atau
kelompok kita (suku atau bangsa). Kedua, Arca-arca Gua (Idols of Cave).
Kita cenderung memandang diri kita sebagai pusat dunia dan menekankan pendapat
kita yang terbatas. Ketiga, Arca-arca Pasar (Idols of the Market) yang
menjadikan kita terpengaruh oleh kata-kata atau nama-nama yang kita kenal dalam
percakapan kita sehari-hari. Kita disesatkan oleh kata-kata yang diucapkan
secara emosional. Sebagai contoh, dalam Masyarakat (Amerika) kata-kata komunis,
radikal dan teroris. Keempat, Arca-arca Panggung (Idols of Theatre) yang timbul
karena sikap kita berpegang pada partai, kepercayaan atau keyakinan. Tingkah
laku, cara-cara dan aliran-aliran pikiran adalah seperti panggung, dalam arti
bahwa mereka membawa kita ke dunia khayal. Akhirnya arca panggung membawa kita
kepada kesimpulan yang salah dasar.
Bacon menolak silogisme, sebab dipandang tanpa arti dalam ilmu
pengetahuan karena tidak mengajarkan kebenaran-kebenaran yang baru. Ia juga
menekankan bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat dihasilkan melalui pengamatan,
eksperimen dan harus berdasarkan data-data yang tersusun. Dengan demikian Bacon
dapat dipandang sebagai peletak dasar-dasar metode induksi modern dan pelopor
dalam usaha sitematisasi secara logis prosedur ilmiah.
Dalam bidang filsafat, zaman renaisans tidak menghasilkan karya penting
bila dibandingkan dengan bidang seni dan sains. Filsafat berkembang bukan pada
zaman itu, melainkan kelak pada zaman sesudahnya yaitu zaman modern. Meskipun
terdapat berbagai perubahan mendasar, namun abad-abad renaisans tidaklah secara
langsung menjadi lahan subur bagi pertumbuhan filsafat. Baru pada abad ke-17
dengan dorongan daya hidup yang kuat sejak era renaisans, filsafat mendapatkan
pengungkapannya yang lebih jelas. Jadi, zaman modern filsafat didahului oleh
zaman renaisans. Ciri-ciri filsafat renaisans dapat ditemukan pada filsafat
modern. Ciri tersebut antara lain, menghidupkan kembali rasionalisme Yunani,
individualisme, humanisme, lepas dari pengaruh agama dan lain-lain.
Pada abad ke-17 pemikiran renaisans mencapai kesempurnaannya pada diri
beberapa tokoh besar. Pada abad ini tercapai kedewasaan pemikiran, sehingga ada
kesatuan yang memberi semangat yang diperlukan pada abad-abad berikutnya. Pada
masa ini, yang dipandang sebagai sumber pengetahuan hanyalah apa yang secara
alamiah dapat dipakai manusia, yaitu akal (rasio) dan pengalaman (empiri).
Sebagai akibat dari kecenderungan berbeda dalam memberi penekanan kepada salah
satu dari keduanya, maka pada abad ini lahir dua aliran yang saling bertentangan,
yaitu rasionalisme yang memberi penekanan pada rasio dan empirisme yang memberi
penekanan pada empiris.
B.
Rasionalisme
Usaha manusia
untuk memberi kemandirian kepada akal sebagaimana yang telah dirintis oleh para
pemikir renaisans, masih berlanjut terus sampai abad ke-17. Abad ke-17 adalah
era dimulainya pemikiran-pemikiran kefilsafatan dalam artian yang sebenarnya.
Semakin lama manusia semakin menaruh kepercayaan yang besar terhadap kemampuan
akal, bahkan diyakini bahwa dengan kemampuan akal segala macam persoalan dapat
dijelaskan, semua permasalahan dapat dipahami dan dipecahkan termasuk seluruh
masalah kemanusiaan.
Keyakinan
yang berlebihan terhadap kemampuan akal telah berimplikasi kepada perang
terhadap mereka yang malas mempergunakan akalnya, terhadap kepercayaan yang
bersifat dogmatis seperti yang terjadi pada abad pertengahan, terhadap
norma-norma yang bersifat tradisi dan terhadap apa saja yang tidak masuk akal
termasuk keyakinan-keyakinan dan serta semua anggapan yang tidak rasional.
Dengan kekuasaan
akal tersebut, orang berharap akan lahir suatu dunia baru yang lebih sempurna,
dipimpin dan dikendalikan oleh akal sehat manusia. Kepercayaan terhadap akal
ini sangat jelas terlihat dalam bidang filsafat, yaitu dalam bentuk suatu
keinginan untuk menyusun secara a priori suatu sistem keputusan akal yang luas
dan tingkat tinggi. Corak berpikir yang sangat mendewakan kemampuan akal dalam
filsafat dikenal dengan nama aliran rasionalisme.
Pada zaman
modern filsafat, tokoh pertama rasionalisme adalah Rene Descartes (1595-1650).
Tokoh rasionalisme lainnya adalah Baruch Spinoza (1632-1677) dan Gottfried
Wilhelm Leibniz (1646-1716). Descartes dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern.
Menurut Bertrand Russel, kata “Bapak” pantas diberikan kepada Descartes karena
dialah orang pertama pada zaman modern itu yang membangun filsafat berdasarkan
atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan akliah. Dia pula
orang pertama di akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat dan
tegas yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan,
bukan iman, bukan ayat suci dan bukan yang lainnya. Hal ini disebabkan perasaan
tidak puas terhadap perkembangan filsafat yang amat lamban dan banyak memakan
korban. Ia melihat tokoh-tokoh Gereja yang mengatasnamakan agama telah
menyebabkan lambannya perkembangan itu. Ia ingin filsafat dilepaskan dari
dominasi agama Kristen, selanjutnya kembali kepada semangat filsafat Yunani,
yaitu filsafat yang berbasis pada akal.
Descartes
sangat menyadari bahwa tidak mudah meyakinkan tokoh-tokoh Gereja bahwa dasar
filsafat haruslah rasio. Tokoh-tokoh Gereja waktu itu masih berpegang teguh
pada keyakinan bahwa dasar filsafat haruslah iman sebagaimana tersirat dalam
jargon credo ut intelligam yang dipopulerkan oleh Anselmus. Untuk
meyakinkan orang bahwa dasar filsafat haruslah akal, ia menyusun argumentasinya
dalam sebuah metode yang sering disebut cogito Descartes, atau metode cogito
saja. Metode tersebut dikenal juga dengan metode keraguan Descartes (Cartesian
Doubt)
Lebih jelas
uraian Descartes tentang bagaimana memperoleh hasil yang sahih dari metode yang
ia canangkan dapat dijumpai dalam bagian kedua dari karyanya Anaximenes
Discourse on Methode yang menjelaskan perlunya memperhatikan empat hal
berikut ini:
1.
Tidak menerima sesuatu apa pun sebagai kebenaran,
kecuali bila saya melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas,
sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
2.
Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sebanyak
mungkin bagian, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu
merobohkannya.
3.
Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari
hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada
yang paling sulit dan kompleks.
4.
Dalam proses pencarian dan penelaahan hal-hal sulit,
selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta
pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita menjadi yakin bahwa
tidak ada satu pun yang terabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu.
Atas dasar
aturan-aturan itulah Descartes mengembangkan pikiran filsafatnya. Ia meragukan
segala sesuatu yang dapat diragukan. Pertama-tama ia mulai meragukan hal-hal
yang berkaitan dengan panca indera. Ia meragukan adanya badannya sendiri.
Keraguan itu dimungkinkan karena pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi dan
pengalaman tentang roh halus, ada yang sebenarnya itu tidak jelas.
Pada keempat keadaan itu seseorang dapat mengalami sesuatu seolah-olah dalam
keadaan yang sesungguhnya. Di dalam mimpi, seolah-olah seseorang mengalami
sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis seperti tidak mimpi. Begitu pula
pada pengalaman halusinasi, ilusi dan hal gaib. Tidak ada batas yang tegas
antara mimpi dan jaga. Oleh karena itu, Descartes berkata, ”Aku dapat meragukan
bahwa aku di sini sedang siap untuk pergi ke luar; ya, aku dapat meragukan itu
karena kadang-kadang aku bermimpi persis sepeti itu, padahal aku ada di tempat
tidur sedang bermimpi”. Jadi, siapa yang dapat menjamin bahwa yang sedang kita
alami sekarang adalah kejadian yang sebenarnya dan bukan mimpi?
Pada langkah
pertama ini Descartes berhasil meragukan semua benda yang dapat diindera.
Sekarang , apa yang dapat dipercaya dan yang sungguh-sungguh ada? Menurut
Descartes, dalam keempat keadaan itu (mimpi, halusinasi, ilusi dan hal gaib),
juga dalam jaga, ada sesuatu yang selalu muncul. Ada yang selalu muncul baik dalam jaga maupun
dalam mimpi, yaitu gerak, jumlah dan besaran (volume). Ketiga hal
tersebut adalah matematika. Untuk membuktikan ketiga hal ini benar-benar ada,
maka Descartes pun meragukannya. Ia mengatakan bahwa matematika bisa salah.
Saya sering salah menjumlah angka, salah mengukur besaran, demikian pula pada
gerak. Jadi, ilmu pasti pun masih dapat saya ragukan, meskipun matematika lebih
pasti dari benda. Kalau begitu, apa yang pasti itu dan dapat kujadikan dasar
bagi filsafatku? Aku ingin yang pasti, yang distinct.
Sampailah ia
sekarang kepada langkah ketiga dalam metode cogito. Satu-satunya hal
yang tak dapat ia ragukan adalah eksistensi dirinya sendiri yang sedang
ragu-ragu. Mengenai satu hal ini tidak ada satu manusia pun yang dapat
menipunya termasuk setan licik dan botak sekali pun. Bahkan jika kemudian ia
disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada, maka penyesatan itu pun bagi Descartes
merupakan bukti bahwa ada seseorang yang sedang disesatkan. Ini bukan khayalan,
melainkan kenyataan. Batu karang kepastian Descartes ini diekspresikan dalam
bahasa latin cogito ergo sum (saya berpikir, karena itu saya ada).
Dalam usaha
untuk menjelaskan mengapa kebenaran yang satu (saya berpikir, maka saya ada)
adalah benar, Descartes berkesimpulan bahwa dia merasa diyakinkan oleh
kejelasan dan ketegasan dari ide tersebut. Di atas dasar ini dia menalar bahwa
semua kebenaran dapat kita kenal karena kejelasan dan ketegasan yang timbul
dalam pikiran kita:” Apa pun yang dapat digambarkan secara jelas dan tegas
adalah benar.
Dengan
demikian, falsafah rasional mempercayai bahwa pengetahuan yang dapat diandalkan
bukanlah turunan dari dunia pengalaman melainkan dari dunia pikiran. Descartes
mengakui bahwa pengetahuan dapat dihasilkan oleh indera, tetapi karena dia
mengakui bahwa indera itu bisa menyesatkan seperti dalam mimpi atau khayalan,
maka dia terpaksa mengambil kesimpulan bahwa data keinderaan tidak dapat
diandalkan.
Cogito
ergo sum dianggap sebagai fase yang paling penting dalam filsafat
Descartes yang disebut sebagai kebenaran filsafat yang pertama (primum
philosophium). Aku sebagai sesuatu yang berpikir adalah suatu substansi
yang seluruh tabiat dan hakikatnya terdiri dari pikiran dan keberadaannya tidak
butuh kepada suatu tempat atau sesuatu yang bersifat bendawi.
Untuk
menguatkan gagasannya, ia mengemukakan ide-ide bawaan (innate ideas).
Descartes berpendapat bahwa dalam dirinya terdapat tiga ide bawaan yang telah
ada pada dirinya sejak lahir, yaitu pemikiran, Tuhan dan keluasan. Argumen
tentang ide bawaan tersebut adalah ketika saya memahami diri saya sebagai
makhluk yang berpikir, maka harus diterima bahwa pemikiran merupakan hakikat
saya. Ketika saya mempunyai ide sempurna, maka pasti ada penyebab sempurna bagi
ide tersebut, karena akibat tidak mungkin melebihi penyebabnya. Wujud yang
sempurna itu tidak lain adalah Tuhan. Adapun alasan tentang keluasan karena
saya mengerti ada materi sebagai keluasan, sebagaimana diketahui dan dipelajari
dalam ilmu geometri.
Mengenai
substansi, Descartes menyimpulkan bahwa selain dari Tuhan ada dua substansi,
yaitu jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran dan materi yang hakikatnya adalah
keluasan. Tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar
dirinya, maka ia kesulitan membuktikan adanya dunia luar tersebut. Bagi
Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia luar adalah bahwa
Tuhan akan menipu saya sekiranya Ia memberi ide keluasan. Namun tidak mungkin
Tuhan sebagai wujud yang sempurna akan menipu saya. Jadi, di luar saya
benar-benar ada dunia material.
Adapun
Spinoza beranggapan bahwa hanya ada satu substansi, yaitu Tuhan. Jika Descartes
membagi substansi menjadi tiga, yaitu tubuh (bodies), jiwa (mind)
dan Tuhan, maka Spinoza menyimpulkan hanya ada satu substansi. Adapun bodies
dan mind bukan substansi yang berdiri sendiri, melainkan sifat dari
satu substansi yang tak terbatas. Ketika ia ditanya,”Bagaimana membedakan
atribut bodies dan mind?” Spinoza memberi jawaban
mengejutkan: ”Anda hanyalah satu bagian dari substansi kosmik (universe)”.
Jika demikian, alam semesta juga adalah Tuhan. Bagi Spinoza, Tuhan dan alam
semesta adalah satu dan sama. Ya, Spinoza percaya kepada Tuhan, tetapi Tuhan
yang dimaksudkannya adalah alam semesta ini. Tuhan Spinoza itu tidak
berkemauan, tidak melakukan sesuatu, tak mempedulikan manusia dan tak terbatas
(ultimate). Inilah penjelasan logis dan dapat diketahui tentang Tuhan
menurut Spinoza.
Sebagai
penganut rasionalisme, Spinoza dianggap sebagai orang yang tepat dalam
memberikan gambaran tentang apa yang dipikirkan oleh penganut rasionalisme. Ia
berusaha menyusun sebuah sistem filsafat yang menyerupai sistem ilmu ukur
(geometri). Seperti halnya orang Yunani, Spinoza mengatakan bahwa dalil-dalil
ilmu ukur merupakan kebenaran-kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi.
Spinoza meyakini bahwa jika seseorang memahami makna yang dikandung oleh
kata-kata yang dipergunakan dalam ilmu ukur, maka ia pasti akan memahami makna
yang terkandung dalam pernyataan “sebuah garis lurus merupakan jarak terdekat
di antara dua buah titik”, maka kita harus mengakui kebenaran pernyataan
tersebut. Kebenaran yang menjadi aksioma.
Contoh ilmu
ukur (geometri) yang dikemukakan oleh Spinoza di atas adalah salah satu contoh
favorit kaum rasionalis. Mereka berdalih bahwa aksioma dasar geometri seperti,
“sebuah garis lurus merupakan jarak yang terdekat antara dua titik”, adalah
idea yang jelas dan tegas yang baru kemudian dapat diketahui oleh manusia. Dari
aksioma dasar itu dapat dideduksikan sebuah sistem yang terdiri dari
subaksioma-subaksioma. Hasilnya adalah sebuah jaringan pernyataan yang formal
dan konsisten yang secara logis tersusun dalam batas-batas yang telah
digariskan oleh suatu aksioma dasar yang sudah pasti.
C.
Empirisme
Para pemikir di Inggris bergerak ke arah yang berbeda
dengan tema yang telah dirintis oleh Descartes. Mereka lebih mengikuti Jejak
Francis Bacon, yaitu aliran empirisme.Empirisme adalah suatu doktrin filsafat
yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan pengetahuan
itu sendiri dan mengecilkan peran akal. Istilah empirisme diambil dari bahasa
yunani empeiria yang berarti pengalaman. Sebagai suatu doktrin,
empirisme adalah lawan rasionalisme. Akan tetapi tidak berarti bahwa
rasionalisme ditolak sama sekali. Dapat dikatakan bahwa rasionalisme
dipergunakan dalam kerangka empirisme, atau rasionalisme dilihat dalam bingkai
empirisme
Orang pertama
pada abad ke-17 yang mengikuti aliran empirisme di Inggris adalah Thomas Hobbes
(1588-1679). Jika Bacon lebih berarti dalam bidang metode penelitian, maka
Hobbes dalam bidang doktrin atau ajaran. Hobbes telah menyusun suatu sistem
yang lengkap berdasar kepada empirisme secara konsekuen. Meskipun ia bertolak
pada dasar-dasar empiris, namun ia menerima juga metode yang dipakai dalam ilmu
alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan empirisme dengan
rasionalisme matematis. Ia mempersatukan empirisme dengan rasionalisme dalam
bentuk suatu filsafat materialistis yang konsekuen pada zaman modern.
Menurut
Hobbes, filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebab
filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat,
atau tentang penampakan-panampakan yang kita peroleh dengan merasionalisasikan
pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebabnya atau asalnya. Sasaran
filsafat adalah fakta-fakta yang diamati untuk mencari sebab-sebabnya. Adapun
alatnya adalah pengertian-pengertian yang diungkapkan dengan kata-kata yang
menggambarkan fakta-fakta itu. Di dalam pengamatan disajikan fakta-fakta yang
dikenal dalam bentuk pengertian-pengertian yang ada dalam kesadaran kita.
Sasaran ini dihasilkan dengan perantaraan pengertian-pengertian; ruang, waktu,
bilangan dan gerak yang diamati pada benda-benda yang bergerak. Menurut
Hobbes, tidak semua yang diamati pada benda-benda itu adalah nyata, tetapi yang
benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala
gejala pada benda yang menunjukkan sifat benda itu ternyata hanya perasaan yang
ada pada si pengamat saja. Segala yang ada ditentukan oleh sebab yang hukumnya
sesuai dengan hukum ilmu pasti dan ilmu alam. Dunia adalah keseluruhan sebab
akibat termasuk situasi kesadaran kita.
Sebagai
penganut empirisme, pengenalan atau pengetahuan diperoleh melalui pengalaman.
Pengalaman adalah awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang
asas-asas yang diperoleh dan diteguhkan oleh pengalaman. Segala pengetahuan
diturunkan dari pengalaman. Dengan demikian, hanya pengalamanlah yang memberi
jaminan kepastian.
Berbeda
dengan kaum rasionalis, Hobbes memandang bahwa pengenalan dengan akal hanyalah
mempunyai fungsi mekanis semata-mata. Ketika melakukan proses penjumlahan dan
pengurangan misalnya, pengalaman dan akal yang mewujudkannya. Yang dimaksud
dengan pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan
dalam ingatan atau digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai
dengan apa yang telah diamati pada masa lalu. Pengamatan inderawi terjadi
karena gerak benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam
indera kita. Gerak ini diteruskan ke otak kita kemudian ke jantung. Di dalam
jantung timbul reaksi, yaitu suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya.
Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.
Untuk
mempertegas pandangannya, Hobbes menyatakan bahwa tidak ada yang universal
kecuali nama belaka. Konsekuensinya ide dapat digambarkan melalui kata-kata.
Dengan kata lain, tanpa kata-kata ide tidak dapat digambarkan. Tanpa bahasa tidak
ada kebenaran atau kebohongan. Sebab, apa yang dikatakan benar atau tidak benar
itu hanya sekedar sifat saja dari kata-kata. Setiap benda diberi nama dan
membuat ciri atau identitas-identitas di dalam pikiran orang.
Selanjutnya
tradisi empiris diteruskan oleh John Locke (1632-1704) yang untuk pertama kali
menerapkan metode empiris kepada persoalan-persoalan tentang pengenalan atau
pengetahuan. Bagi Locke, yang terpenting adalah menguraikan cara manusia
mengenal. Locke berusaha menggabungkan teori-teori empirisme seperti yang
diajarkan Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme Descartes. Usaha ini
untuk memperkuat ajaran empirismenya. Ia menentang teori rasionalisme mengenai
idea-idea dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut
dia, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Peran
akal adalah pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Oleh karena itu akal tidak
melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri. Pada waktu manusia dilahirkan,
akalnya merupakan sejenis buku catatan yang kosong (tabula rasa). Di dalam buku
catatan itulah dicatat pengalaman-pangalaman inderawi. Seluruh pengetahuan kita
diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh
dari penginderaan serta refleksi yang pertama dan sederhana. Tapi pikiran,
menurut Locke, bukanlah sesuatu yang pasif terhadap segala sesuatu yang datang
dari luar. Beberapa aktifitas berlangsung dalam pikiran. Gagasan-gagasan yang
datang dari indera tadi diolah dengan cara berpikir, bernalar, mempercayai,
meragukan dan dengan demikian memunculkan apa yang dinamakannya dengan
perenungan.
Locke
menekankan bahwa satu-satunya yang dapat kita tangkap adalah penginderaan
sederhana. Ketika kita makan apel misalnya, kita tidak merasakan seluruh apel
itu dalam satu penginderaan saja. Sebenarnya, kita menerima serangkaian
penginderaan sederhana, yaitu apel itu berwarna hijau, rasanya segar, baunya
segar dan sebagainya. Setelah kita makan apel berkali-kali, kita akan berpikir
bahwa kita sedang makan apel. Pemikiran kita tentang apel inilah yang kemudian
disebut Locke sebagai gagasan yang rumit atau ia sebut dengan persepsi. Dengan
demikian kita dapat mengatakan bahwa semua bahan dari pengetahuan kita tentang
dunia didapatkan melalui penginderaan. Ini berarti bahwa semua pengetahuan kita
betapapun rumitnya, dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman
inderawi yang pertama-tama yang dapat diibaratkan seperti atom-atom yang
menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dilacak
kembali seperti demikian itu bukanlah pengetahuan atau setidak-tidaknya
bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.
Di tangan
empirisme Locke, filsafat mengalami perubahan arah. Jika rasionalisme Descartes
mengajarkan bahwa pengetahuan yang paling berharga tidak berasal dari
pengalaman, maka menurut Locke, pengalamanlah yang menjadi dasar dari segala
pengetahuan. Namun demikian, empirisme dihadapkan pada sebuah persoalan yang
sampai begitu jauh belum bisa dipecahkan secara memuaskan oleh filsafat.
Persoalannya adalah menunjukkan bagaimana kita mempunyai pengetahuan tentang
sesuatu selain diri kita dan cara kerja pikiran itu sendiri.
Filsafat Positivisme dan Perkembangannya
Positivisme
adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan
metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Sesungguhnya
aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk
memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya
idealisme Jerman Klasik).
Positivisme
merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan
logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam
satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.
Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
1.
Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada
Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang
diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill.
Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2.
Munculnya tahap kedua dalam positivisme –
empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach
dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek
nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme,
masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim,
yang bergabung dengan subyektivisme.
3.
Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan
dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank,
dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap
ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan
sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika.
Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika
simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
Positivisme
mengacu pada satu set perspektif epistemologis dan filsafat ilmu yang
berpendapat bahwa metode ilmiah adalah pendekatan terbaik untuk mengungkap
proses yang baik peristiwa fisik dan manusia terjadi. Meskipun pendekatan
positivis telah 'tema berulang dalam sejarah pemikiran Barat dari Yunani Kuno
sampai sekarang konsep tersebut dikembangkan pada awal abad 19 oleh filsuf dan
pendiri sosiolog, Auguste Comte
Positivisme
menegaskan bahwa hanya pengetahuan yang otentik adalah yang didasarkan pada
pengalaman rasa dan verifikasi positif. Sebagai suatu pendekatan terhadap
filsafat ilmu yang berasal dari pemikir Pencerahan seperti Henri de Saint-Simon
dan Pierre-Simon Laplace, Auguste Comte melihat metode ilmiah sebagaimana
menggantikan metafisika dalam sejarah pemikiran, mengamati ketergantungan
melingkar teori dan observasi dalam ilmu . Positivisme sosiologis kemudian
dirumuskan oleh Émile Durkheim sebagai dasar untuk penelitian sosial. Pada
pergantian abad ke-20 gelombang pertama sosiolog Jerman, termasuk Max Weber dan
Georg Simmel, menolak doktrin, sehingga pendiri tradisi antipositivist dalam
sosiologi. Kemudian antipositivists dan teoretisi positivisme kritis yang
terkait dengan "saintisme"; ilmu sebagai ideologi.
Pada awal
abad 20, positivisme-logis keturunan tesis dasar Comte, tetapi sebuah gerakan
independen-bermunculan di Wina dan tumbuh menjadi salah satu sekolah yang
dominan dalam filsafat Anglo-Amerika dan tradisi analitik. positivis logis
(atau 'neopositivists') menolak spekulasi metafisik dan upaya untuk mengurangi
pernyataan dan proposisi untuk logika murni. Kritik dari pendekatan oleh filsuf
seperti Karl Popper dan Thomas Kuhn telah sangat berpengaruh, dan menyebabkan
perkembangan postpositivism. Dalam psikologi, gerakan positivis ini berpengaruh
pada pengembangan behavioralism dan operationalism. Dalam ekonomi, peneliti
berlatih cenderung meniru asumsi metodologi positivisme klasik, tetapi hanya
dengan cara-de facto: mayoritas ekonom tidak secara eksplisit menyibukkan diri
dengan masalah epistemologi. Dalam yurisprudensi, "positivisme hukum"
pada dasarnya mengacu pada penolakan terhadap hukum alam, sehingga makna umum
dengan filosofis positivisme agak dilemahkan dan dalam generasi terbaru umumnya
menekankan otoritas struktur politik manusia sebagai lawan dari pandangan
"ilmiah" hukum.
Dalam ilmu
sosial kontemporer, rekening kuat positivisme telah lama sejak jatuh dari
nikmat. Praktisi positivisme hari ini mengakui dalam bias detail pengamat jauh
lebih besar dan keterbatasan struktural. positivis modern umumnya menghindari
masalah metafisik yang mendukung perdebatan metodologis tentang kejelasan,
diulangi, reliabilitas dan validitas. Positivisme ini umumnya disamakan dengan
"penelitian kuantitatif" dan dengan demikian tidak membawa komitmen
teoretis atau filosofis eksplisit. Institusionalisasi semacam ini sosiologi
sering dikreditkan ke Paulus Lazarsfeld, yang memelopori penelitian survei
skala besar dan teknik statistik yang dikembangkan untuk menganalisis mereka.
Pendekatan ini cocok untuk teori apa Robert K. Merton disebut-tengah kisaran:
laporan abstrak yang generalisasi dari hipotesis dipisahkan dan keteraturan
empiris bukan dimulai dengan gagasan abstrak dari suatu keseluruhan sosial baru
gerakan lain, seperti realisme kritis,. telah muncul untuk mendamaikan tujuan
menyeluruh dengan berbagai ilmu sosial yang disebut 'postmodern' kritik
A. Positivisme Logis
Dalam
perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga
munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di
pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina.
Positivisme
logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada
segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi
dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika
dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini
adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat
diverifikasi secara empiris.
Tujuan akhir
dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk
mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal
dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara
ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu
formal.
Positivisme
berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu
bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang
mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa
hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara
pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai
pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan
kaidah-kaidah korespondensi.
Ø Auguste Comte dan Positivisme
Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu
positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana
metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum
sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris
dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon
yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami
sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai
proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga
merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode
feodalisme), tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang
mendasari masyarakat industri.
Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of
Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi
filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang
semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini
diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud
adalah kaitan organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald),
sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat
sehjarah Condorcet).
Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode
positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4
ciri, yaitu :
1.
Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2.
Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari
syarat-syarat hidup
3.
Metode ini berusaha ke arah kepastian
4.
Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan,
perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa
dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi
masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan
gagasan-gagasan.
Ø Karl R Popper: Kritik terhadap Positivisme Logis
Asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus diji dengan menghadapkannya
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan Popper
menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai penolakannya atas positivisme
logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya
berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti
dan logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan
adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.
Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang
metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka,
dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu
Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar,
untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang
dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis
penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan
berlaku, karena elemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan
kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak
lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili
fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai
benar maka penalaran yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.
Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa
fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak ada,
karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan
asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang
dipakai sebagai landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis tidak
pernah bisa dikatakab benar secara mutlak.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan terdahulu dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Renaisans
berasal dari bahasa Prancis renaisance yang berarti kelahiran kembali.
Istilah ini sering digunakan untuk menamai berbagai gelombang kebudayaan dan
pemikiran di Eropa yang terjadi mulai dari Italia, kemudian meluas ke beberapa
negara Eropa lainnya. Kemunculan renaisans telah membawa hidupnya kembali ilmu
pengetahuan, filsafat dan perubahan di berbagai lini kehidupan, sehingga para
sejarawan menganggapnya sebagai awal zaman modern. Berbagai perubahan yang
terjadi selama era renaisans menjadi persiapan bagi pembentukan filsafat pad
abad ke-17, atau yang dikenal dengan filsafat modern.
2. Rasionalisme
adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendirian bahwa sumber pengetahuan
yang mencukupi dan dapat dipercaya adalah akal. Rasionalisme tidak mengingkari
peran pengalaman, tetapi pengalaman dipandang sebagai perangsang bagi akal atau
sebagai pendukung bagi pengetahuan yang telah ditemukan oleh akal. Akal dapat
menurunkan kebenaran-kebenaran dari dirinya sendiri melalui metode deduktif.
Rasionalisme menonjolkan “diri” yang metafisik, ketika Descartes meragukan
“aku” yang empiris, ragunya adalah ragu metafisik.
3. Empirisme
adalah suatu aliran dalam filsafat yang berpendapat bahwa empiri atau
pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan. Akal bukanlah sumber
pengetahuan, akan tetapi akal berfungsi mengolah data-data yang diperoleh dari
pengalaman. Metode yang digunakan adalah metode induktif. Jika rasionalisme
menonjolkan “aku” yang metafisik, maka empirisme menonjolkan “aku” yang
empiris.
4. Positivisme
adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan
metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmadi,
Asmoro. Filsafat Umum. Cet. V; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Anees, Bambang
Q- dan Radea Juli A. Hambali. Filsafat Untuk Umum. Cet. I; Jakarta: Prenada Media,
2003.
Hadiwijono,
Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Cet. IX; Yogyakarta:
Kanisius, 1993.
Ravertz,
Jerome R. The Philosophy of Science. Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu
dengan judul Filsafat Ilmu, Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan.
Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Mustansyir,
Rizal dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Cet. VII; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Nakosteen,
Mehdi. History of Islamic Origins of Western Education A. D. 800-1350 with
an Introduction to Medieval Muslim Education. Diterjemahkan oleh
Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah dengan judul Kontribusi Islam atas
dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis abad kemasan Islam. Cet. I; Surabaya: Risalah Gusti,
1996.
Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir, selanjutnya disebut Rizal, Filsafat Ilmu
(Cet. VII; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
h. 58-59.
Suriasumantri,
Jujun S. Ilmu dalam perspektif. Cet. XVI; Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia,
2003.
Tafsir,
Ahmad. Filsafat Umum. Cet. VI; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998.
Titus,
Harold H., et al. Living Issues in philosophy. Diterjemahkan oleh H.M.
Rasjidi dengan judul Persoalan-Persoalan Filsafat. Cet.
I; Jakarta:
PT Bulan Bintang, 1984.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar