KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat ALLAH SWT. yang telah
melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga makalah Ekologi Hewan yaitu tentang
“Habitat dan Relung Ekologi” ini dapat terselesaikan sebagaimana
mestinya. Shalawat serta salam tidak lupa kita haturkan kepada junjungan
Baginda Nabi Besar Muhammad SAW, atas bimbingan Beliau sehingga kita dapat
membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Ucapan terimakasih kepada dosen pengampu mata
kuliah Ekologi Hewan yang telah memberikan kami kesempatan untuk membuat
makalah ini sebagai pedoman, acuan, dan sumber belajar.
Akhir kata, Penyusun menyadari bahwa masih
terdapat banyak kesalahan baik dari segi bahasa, tulisan, maupun kalimat yang
kurang tepat dalam makalah ini, oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca sangat
diharapkan demi kesempurnaan makalah berikutnya.
Pancor,31 Oktober 2011
Penyusun
DAFATAR ISI
KATAPENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Batasan
Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Habitat
B. Mikrohabitat
C. Relung Ekologi
D. Asas aksklusi persaingan dan pemisahan
relung
E. Ekuivalen Ekologi
F. Pergeseran Ciri
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di alam yang di lingkungan
sekitar kita dapat di temui berbagai jenis makhluk hidup,baik dari golongan
hewan,tumbuhan ataupun mikroorganisme.Ditanah yang lembab dan gembur sering di
temukan berbagai jenis ikan,di rerumputan sering di temukan belalang,di semsk
belukar sering ditemukan ular.Mengapa masing-masing hewan tersebut.
Lebih sering di temukan di
tempat-tempat yang tertentu dan tidak sembarang tempat? Masalah kehadiran suatu
populasi hewan di suatu tempat dan penyebaran(distribusi) spesies hewan
tersebut di muka bumi ini,selalu berkaitan dengan masalah habitat dan relung
ekologinya.Habitat secara umum menunjuk kan bagaimana corak lingkungan yang
ditempati populasi hewan,sedang relung ekologinya menunjukkan dimana dan
bagaimana kedudukan populasi hewan itu relatif terhadap faktor-faktor abiotik
dan biotic lingkungannya itu.Secara sederhana habitat di artikan sebagai tempat
hidup dari makhluk hidup,atau diistilahkan juga dengan biotop.Untuk
mudahnya,habitat seringkali diibaratkan sebagai”alamat”
dari populasi hewan,sedang relung ekologi dimisalkan sebagai “profesi” di
alamat itu.
B. Batasan Masalah
1. Pengertian Habitat
2. Mikrohabitat
3. Relung Ekologi
4. Asas Eksklusi Persaingan Dan Pemisahan
Relung
5. Ekivalen Ekologi
6. Pergeseran Ciri
BAB II
PEMBAHASAN
A. Habitat
Habitat suatu populasi hewan
pada dasarnya menunjukkan totalitas dari corak lingkungan yang di tempati
populasi itu,termasuk factor-faktor
abiotik berupa ruang,tipe substratum yang di tempati,cuaca dan iklimnya
serta vegetasinya.
Definisi habitat : Habitat suatu organisme adalah tempat organisme
itu hidup, atau tempat kemana seseorang harus pergi untuk menemukan organisme
tersebut. Istilah habitat banyak digunakan , tidak saja dalam ekologi tetapi
dimana saja. Tetapi pada umumnya istilah ini diartikan sebagai tempat hidup
suatu makhluk hidup. Contohnya habitat Notonecta
(sejenis binatang air) adalah daerah-daerah kolam, danau dan perairan yang
dangkal yang penuh ditumbuhi vegetasi. Habitat ikan mas (Cyprinus carpio) adalah di perairan
tawar, habitat pohon durian (Durio
zibhetinus) adalah di tanah darat dataran rendah. Pohon enau tumbuh di
tanah darat dataran rendah sampai pegunungan, dan habitat eceng gondok di
perairan terbuka.
Menurut Sambas Wirakusumah dalam Dasar-Dasar
Ekologi, habitat adalah toleransi dalam orbit dimana suatu spesies hidup
termasuk faktor lingkungan yang cocok dengan syarat hidupnya. Orbit adalah
ruang kehidupan spesies lingkungan geografi yang luas, sedangkan habitat
menyatakan ruang kehidupan lingkungan lokasinya.
Morrison (2002) mendefinisikan habitat sebagai sumberdaya dan kondisi yang
ada di suatu kawasan yang berdampak ditempati oleh suatu species. Habitat
merupakan organism-specific: ini menghubungkan kehadiran species, populasi,
atau idndividu (satwa atau tumbuhan) dengan sebuah kawasan fisik dan
karakteristik biologi. Habitat terdiri lebih dari sekedar vegatasi atau
struktur vegetasi; merupakan jumlah kebutuhan sumberdaya khusus suatu species.
Dimanapun suatu organisme diberi sumberdaya yang berdampak pada kemampuan untuk
bertahan hidup, itulah yang disebut dengan habitat.
Tipe Habitat: Habitat
tidak sama dengan tipe habitat. Tipe habitat merupakan sebuah istilah yang
dikemukakan oleh Doubenmire (1968:27-32) yang hanya berkenaan dengan tipe
asosiasi vegetasi dalam suatu kawasan atau potensi vegetasi yang mencapai suatu
tingkat klimaks. Habitat lebih dari sekedar sebuah kawasan vegetasi (seperti
hutan pinus). Istilah tipe habitat tidak bisa digunakan ketika mendiskusikan
hubungan antara satwa liar dan habitatnya. Ketika kita ingin menunjukkan
vegetasi yang digunakan oleh satwa liar, kita dapat mengatakan asosiasi
vegetasi atau tipe vegetasi didalamnya.
Penggunaan Habitat: Penggunaan
habitat merupakan cara satwa menggunakan (atau ”mengkonsumsi” dalam suatu
pandangan umum) suatu kumpulan komponen fisik dan biologi (sumber daya) dalam
suatu habitat. Hutto (1985:458) menyatakan bahwa penggunaan habitat merupakan
sebuah proses yang secara hierarkhi melibatkan suatu rangkaian perilaku alami dan
belajar suatu satwa dalam membuat keputusan habitat seperti apa yang akan
digunakan dalam skala lingkungan yang berbeda.
Kesukaan Habitat: Johnson
(1980) menyatakan bahwa seleksi merupakan proses satwa memilih komponen habitat
yang digunakan. Kesukaan habitat merupakan konsekuensi proses yang menghasilkan
adanya penggunaan yang tidak proporsional terhadap beberapa sumberdaya, yang
mana beberapa sumberdaya digunakan melebihi yang lain.
Ketersediaan Habitat: Ketersediaan habitat menunjuk pada aksesibiltas komponen fisik dan biologi
yang dibutuhkan oleh satwa, berlawanan dengan kelimpahan sumberdaya yang hanya
menunjukkan kuantitas habitat masing-masing organisme yang ada dalam habitat
tersebut (Wiens 1984:402). Secara teori kita dapat menghitung jumlah dan jenis
sumberdaya yang tersedia untuk satwa; secara praktek, merupakan hal yang hampir
tidak mungkin untuk menghitung ketersediaan sumberdaya dari sudut pandang satwa
(Litvaitis et al., 1994). Kita dapat menghitung kelimpahan species prey untuk
suatu predator tertentu, tetapi kita tidak bisa mengatakan bahwa semua prey
yang ada di dalam habitat dapat dimangsa karena adanya beberapa batasan,
seperti ketersediaan cover yang banyak yang membatasi aksesibilitas predator
untuk memangsa prey. Hal yang sama juga terjadi pada vegetasi yang berada di
luar jangkauan suatu satwa sehingga susah untuk dikonsumsi, walaupun vegetasi
itu merupakan kesukaan satwa tersebut. Meskipun menghitung ketersediaan sumber
daya aktual merupakan hal yang penting untuk memahami hubungan antara satwa
liar dan habitatnya, dalam praktek jarang dilakukan karena sulitnya dalam
menentukan apa yang sebenarnya tersedia dan apa yang tidak tersedia (Wiens
1984:406). Sebagai konsekuensinya, mengkuantifikasi ketersediaan sumberdaya
biasanya lebih ditekankan pada penghitungan kelimpahan sumberdaya sebelum dan
sesudah digunakan oleh satwa dalam suatu kawasan, daripada ketersediaan aktual.
Ketika aksesibilitas sumber daya dapat ditentukan terhadap suatu satwa,
analisis untuk menaksir kesukaan habitat dengan membandingkan penggunan dan
ketersediaan merupakan hal yang penting.
Kualitas Habitat: Istilah
kualitas habitat menunjukkan kemampuan lingkungan untuk memberikan kondisi
khusus tepat untuk individu dan populasi secara terus menerus. Kualitas
merupakan sebuah variabel kontinyu yang berkisar dari rendah, menengah, hingga
tinggi. Kualitas habitat berdasarkan kemampuan untuk memberikan sumberdaya
untuk bertahan hidup, reproduksi, dan kelangsungan hidup populasi secara terus
menerus. Para peneliti umumnya menyamakan kualitas habitat yang tinggi dengan
menonjolkan vegetasi yang memiliki kontribusi terhadap kehadiran (atau ketidak
hadiran) suatu spesies (seperti dalam Habitat Suitability Index Models dalam
Laymon dan Barrett 1986 dan Morrison et al. 1991). Kualitas secara eksplisit
harus dihubungkan dengan ciri-ciri demografi jika diperlukan. Leopold (1933)
dan Dasman et al. (1973) menyatakan bahwa suatu habitat diaktakan memiliki
kualitas yang tinggi apabila kepadatan satwa seimbang dengan sumberdaya yang
tersedia, di lapangan pada umumnya habitat yang memiliki kualitas ditunjukkan
dengan besarnya kepadatan satwa (Laymon dan Barrett 1986). Van Horne (1983)
mengatakan bahwa kepadatan merupakan indikator yang keliru untuk kulitas
habitat. Oleh sebab itu daya dukung dapat disamakan dengan level kualitas
habitat tertentu, kualitasnya dapat berdasarkan tidak pada jumlah organisme
tetapi pada demografi populasi secara individual. Kualitas habitat merupakan
kata kunci bagi para ahli restorasi.
Secara garis besar dikenal empat tipe habitat utama ,
yakni:daratan,perairan tawar,perairan payau dan estuaria serta perairan
bahari/laut..Masing-masing kategori utama dapat
dipilih-pilihkan lagi tergantung corak kepentingannya,mengenai aspek
yang ingin di ketahui.Dari sudut pandang dan kepentingan popuasi-populasi hewan
yang menempatinya,pemilihan tipe-tipe habitat itu terutama didasarkan pada segi
variasinya menurut waktu dan ruang.
Berdasarkan variasi habitat menurut ruang,dapat dikenal4 macam habitat.
1. Habitat yang konstan,yaitu suatu habitat
yang kondisinya terus-menerus relatip baik atau kurang baik.
2. Habitat yang bersifat memusim,yaitu suatu
habitat yang kondisinya secara relative teratur berganti-ganti antara baik dan
kurang baik.
3. Habitat yang tidak menentu,yaitu suatu
habitat yang mengalami suatu priode dengan kondisi baik yang lamanya berfariasi
,sehingga kondisinya tidak dapat diramalkan.
4. Habitat yang efemeral,yaitu suatu habitat
yang mengalami priode kondisi baik yang
berlangsung relative singkat,diikuti oleh suatu priode dengan kondisi yang
kurang baik yang berlangsung relative lama sekali.
Berdasarkan variasi kondisi habitatmenurut
ruang,habitat dapat diklasifikasi menjadi tiga macam.
1. Habitat
yang bersinambung,yaitu apabila suatu habitat
bengandung area dengan kondisi baik yang luas sekali,yang melebihi luas
area yang dapat di jelajahi populasi
hewan pengaruhinya .Sehingga contoh yang luas sebagai habitat dari populasi
rusa yang berjumlah 10 ekor.
2. Habitat yang berputus-putus,merupakan
suatu habitat yang mengandung area dengan kondisi baik letaknya
berselang-seling dengan area yang berkondisi kurang baik,hewan penghuninya
dengan mudah dapat menyebardari area berkondisi baik yang satu ke yang lainnya.
3. Habitat yang terisolasi, merupakan suatu
habitat yang mengandung area terkondisi baik yang terbatas luasnya dan letaknya
terpisah jauh dariarea berkondisi baik yang lain, sehingga hewan-hewan tidak
dapat menyebar untuk mencapainya, kecuali bila didukung oleh faktor-faktor
kebetulan. Misal suatu pulau kecil yang di huni oleh populasi rusa. Jika
makanan habis rusa tersebut tidak dapat berpindah ke pulau lain. Pulau kecil
tersebut merupakan bukan habitat terisolasi bagi suatu populasi burung yang
dapat dengan mudah pindah ke pulau lainnya, tetapi lebih cocok disebut habitat yang
terputus.
B. Mikrohabitat
Habitat-habitat di alam ini
umumnya bersifat heterogen, dengan area-area tertentu dalam habitat itu yang
berbeda vegetasinya. Populasi-populasi hewan yang mendiami habitat itu akan
terkonsentrasi ditempat-tempat dengan kondisi yang paling cocok bagi pemenuhan
persyaratan hidupnya masing-masing. Bagian dari habitat yang merupakan
lingkungan yang kondisinya paling cocok
dan paling akrab berhubungan dengan hewan dinamakan mikrohabitat. Sehubungan dengan bagaimana kisaran-kisaran
toleransinya terhadap berbagai faktor lingkungannya, maka berbagaispesies hewan
yang berkonsentrasi dalam habitat yang sama (= berkohabitasi) akan menempati
mikrohabitatnya masing-masing.
Makrohabitat dan mikrohabitat : Beberapa istilah seperti makrohabitat dan mikrohabitat penggunaannya
tergantung dan merujuk pada skala apa studi yang akan dilakukan terhadap satwa
menjadi pertanyaan. (Johnson, 1980). Dengan demikian makrohabitat dan
mikrohabitat harus ditentukan untuk masing-masing studi yang berkenaan dengan
spesies spesifik. Secara umum, macrohabitat merujuk pada ciri khas dengan skala
yang luas seperti zona asosiasi vegetasi (Block and Brennan, 1993) yang
biasanya disamakan dengan level pertama seleksi habitat menurut Johnson. Mikrohabitat biasanya menunjukkan
kondisi habitat yang sesuai, yang merupakan faktor penting pada level 2-4 dalam
hierarkhi Johnson. Oleh sebab itu merupakan hal yang tepat untuk menggunakan
istilah mikrohabitat dan makrohabitat dalam sebuah pandangan relatif, dan pada
skala penerapan yang ditetapkan secara eksplisit.
Contoh makrohabitat dan mikrohabitat : Organisme
penghancur (pembusuk) daun hanya hidup pada lingkungan sel-sel daun lapisan
atas fotosintesis, sedangkan spesies organisme penghancur lainnya hidup pada
sel-sel daun bawah pada lembar daun yang sama hingga mereka hidup bebas tidak
saling mengganggu. Lingkungan sel-sel dalam selembar daun di atas disebut
mikrohabitat sedangkan keseluruhan daun dalam lingkungan makro disebut
makrohabitat.
Habitat dalam batas tertentu sesuai dengan
persyaratan makhluk hidup yang menghuninya. Batas bawah persyaratan hidup itu
disebut titik minimum dan batas atas disebut titik maksimum. Antara dua kisaran
itu terdapat titik optimum. Ketiga titik itu yaitu titik minimum, titik
maksimum dan titik optimum disebut titik cardinal.
Apabila sifat habitat berubah sampai diluar titik
minimum atau maksimum, makhluk hidup itu akan mati atau harus pindah ke tempat
lain. Misalnya jika terjadi arus terus-menerus di pantai habitat bakau, dapat
dipastikan bakau tersebut tidak akan bertahan hidup . Apabila perubahannya
lambat, misalnya terjadi selama beberapa generasi, makhluk hidup umumnya dapat
menyesuaikan diri dengan kondisi baru di luar batas semula.Melalui proses
adaptasi itu sebenarnya telah terbentuk makhluk hidup yang mempunyai sifat lain
yang disebut varietas baru atau ras baru bahkan dapat terbentuk jenis baru.
Batas antara mikrohabitat yang
satu dengan yang lainnya acapkali tidak nyata/jelas. Namun demikian
mikrohabitat memegang peranan penting dalam
menentukan keanekaragaman spesies yang menempati habitat itu. Tiap spesies akan
berkonsentrasi pada mikrohabitat yang paling sesuai baginya. Sebagai contoh,
dalam suatu habitat perairan tawar yang mengalir (sungai) secara umum dapat
dibedakan menjadi bagian riam dan lubuk. Riam berarus deras dan dasarnya
berbatu-batu sedang lubuk hampir tidak berarus, relatif dalam dan dasarnya
berupa lumpur dan serasah. Ada beberapa populasi hewan air yang lebih menyukai
tinggal atau bermikrohabitat di riam dan ada beberapa populasi yang lebih
menyukai tinggal atau bermikrohabitat di lubuk. Pemilihan atas dasar
mikrohabitat utama ini dapat dipilah-pilah lagi lebih lanjut, seperti bagian
permukaan batu, di sel-sela batu, di bawah lapisan serasah dan sebagainya.
Pemilihan atas dasar mikrohabitat-mikrohabitat yang berbeda itu terkait dengan
masalah perbedaan status fungsional atau relung ekologi dari berbagai spesies
hewan yang manempati habitat perairan tersebut.
C. Relung Ekologi (Ecological Niche)
Berbeda dengan istilah habitat yang sekarang sudah
digunakan secara luas, istilah relung ekologi di luar bidang ekologi praktis
tak kenel. Salah satu pennyebabnya ialah karena konsep relung ekologi relatif
baru, bahkan dalam 30 tahun pertama selak istilah tersebut diperkenalkan
pengertiannya masih kabur. Sampai saat ini dikalangan guru-guru biologi sekolah
menengah juga masih kabur.
Secara umum dapat dikatakan bahwa relung ekologi
merupakan suatu konsep abstrak mengenai keseluruhan persyaratan hidup dan
interaksi organisme dalam habitatnya. Dalam hal ini habitat merupakan penyedia
berbagai koondisi dan sumberdaya yang dapat digunakan oleh organisme sesuai
dengan persyaratan hidupnya.
Konsep relung (niche) dikembangkan oleh Charles
Elton (1927) ilmuwan Inggris, dengan pengertian relung adalah “status
fungsional suatu organisme dalam komunitas tertentu”. Dalam penelaahan suatu
organisme, kita harus mengetahui kegiatannya, terutama mengenai sumber nutrisi
dan energi, kecepatan metabolisme dan tumbuhnya, pengaruh terhadap organisme
lain bila berdampingan atau bersentuhan, dan sampai seberapa jauh organisme
yang kita selidiki itu mempengaruhi atau mampu mengubah berbagai proses dalam
ekosistem.
Relung menurut Resosoedarmo (1992) adalah profesi
(status suatu organisme) dalam suatu komunitas dan ekosistem tertentu yang
merupakan akibat adaptasi struktural, fungsional serta perilaku spesifik
organisme itu. Berdasarkan uraian diatas relung ekologi merupakan istilah lebih
inklusif yang meliputi tidak saja ruang secara fisik yang didiami oleh suatu
makhluk, tetapi juga peranan fungsional dalam komunitas serta kedudukan makhluk
itu di dalam kondisi lingkungan yang berbeda (Odum, 1993). Relung ekologi
merupakan gabungan khusus antara faktor fisik (mikrohabitat) dan kaitan biotik
(peranan) yang diperlukan oleh suatu jenis untuk aktivitas hidup dan eksistensi
yang berkesinambungan dalam komunitas (Soetjipto, 1992).
Niche (relung) ekologi mencakup ruang fisik yang diduduki organisme ,
peranan fungsionalnya di dalam masyarakatnya (misal: posisi trofik) serta
posisinya dalam kondisi lingkungan tempat tinggalnya dan keadaan lain dari
keberadaannya itu. Ketiga aspek relung ekologi itu dapat dikatakan sebagai
relung atau ruangan habitat, relung trofik dan relung multidimensi atau
hypervolume. Oleh karena itu relung ekologi sesuatu organisme tidak hanya
tergantung pada dimana dia hidup tetapi juga apa yang dia perbuat (bagaimana
dia merubah energi, bersikap atau berkelakuan, tanggap terhadap dan mengubah
lingkungan fisik serta abiotiknya), dan bagaimana jenis lain menjadi kendala
baginya. Hutchinson (1957) telah membedakan antara niche pokok (fundamental
niche) dengan niche yang sesungguhnya (relized niche). Niche pokok
didefinisikan sebagai sekelompok kondisi-kondisi fisik yang memungkinkan
populasi masih dapat hidup. Sedangkan niche sesungguhnya didefinisikan sebagai
sekelompok kondisi-kondisi fisik yang ditempati oleh organisme-organisme
tertentu secara bersamaan.
Sebagaiman definisi-definisi pada umumnya,
definisi relung ekologi (niche)
pun juga bermacam-macam. Menurut Kandeigh (1980), relung ekologi adalah suatu populasi / spesies hewan adalah status
fungsional hewan itu dalam habitat yang ditempatinya berkaitan dengan
adaptasi-adaptasi fisiologis, struktural/morfologi, dan pola perilaku hewan
itu. Atau relung ekologi merupakan posisi atau status suatu organisme dalam
suatu komunitas dan ekosistem tertentu yang merupakan akibat adaptasi
struktural, tanggap fisiologis serta perilaku spesifik organisme itu. Jadi
relung suatu organisme bukan hanya ditentukan oleh tempat organisme itu hidup,
tetapi juga oleh berbagai fungsi yang dimilikinya. Dapat dikatakan, bahwa
secara biologis, relung adalah profesi atau cara hidup organisme dalam
lingkungan hidupnya.
Hutchinson (1957) dalam Begon,et al (1986) telah
mengembangkan konsep relung ekologi
multidimensi (dimensi-n atau hipervolume). Setiap kisaran toleransi hewan
terhadap suatu faktor lingkungan, misalnya suhu merupakan suatu dimensi. Dalam
kehidupannya hewan dipengaruhi oleh bukan hanya satu faktor lingkungan saja,
melainkan bannyak faktor lingkungan secara simultan. Faktor ligkungan yang
mempengaruhi atau membatasi kehidupan organisme bukan hanya kondisi lingkungan
seperti suhu, cahaya, kelembapan, salinitas tetapi juga ketersediaan sumberdaya
yang dibutuhkan hewan (makanan dan tempat untuk membuat sarang bagi hewan).
Selanjutnya Hutchinson membagi konsep relung
menjadi relung fundamental dan relung yang terealisasi. Relung fundamental menunjukkan potensi secara utuh kisaran toleransi hewan terhadap
berbagai faktor lingkungan, yang hanya dapat diamati dalam laboratorium dengan
kondisi lingkungan gterkendali. Misalnya yang diamati hanya satu atau dua
faktor saja, tanpa ada pesaing, predator dan lain sebagainya. Relung
terealisasi adalah status fungsional yang benar-benar ditempati dalam kondisi
alami, dengan beroperasinya banyak ffaktor lingkungan seperti interaksi faktor,
kehadiran pesaing, predator dan lain sebagainya. Dibandingkan dengan kisaran
relung fundamental, kisaran dari relung yang terealisasikan itu pada umumnya
lebih sempit, karena tidak seluruhnya dari potensi hewan dapat diwujudkan,
tentunya karena pengaruh dari beroprasinya berbagai kendala dari lingkungan.
Dimensi-dimensi pada niche pokok menentukan kondisi-kondisi yang
menyebabkan organisme-organisme dapat berinteraksi tetapi tidak menentukan
bentuk, kekuatan atau arah interaksi. Dua faktor utama yang menetukan bentuk
interaksi dalam populasi adalah kebutuhan fisiologis tiap-tiap individu dan
ukuran relatifnya. Empat tipe pokok dari interaksi diantara populasi sudah
diketahui yaitu: kompetisi, predasi, parasitisme dan simbiosis.
Agar terjadi interaksi antar organisme yang meliputi kompetisi, predasi,
parasitisme dan simbiosis harusnya ada tumpang tindih dalam niche. Pada kasus
simbion, satu atau semua partisipan mengubah lingkungan dengan cara membuat
kondisi dalam kisaran kritis dari kisaran-kisaran kritis partisipan yang lain.
Untuk kompetitor, predator dan mangsanya harus mempunyai kecocokan dengan
parameter niche agar terjadi interaksi antar organisme, sedikitnya selama waktu
interaksi.
Menurut Odum (1993) tidak ada dua spesies yang
adaptasinya identik sama antara satu dengan yang lainnya, dan spesies yang
memperlihatkan adaptasi yang lebih baik dan lebih agresif akan memenangkan
persaingan. Spesies yang menang dalam persaingan akan dapat memanfaatkan sumber
dayanya secara optimal sehingga mampu mempertahankan eksistensinya dengan baik.
Spesies yang kalah dalam persaingan bila tidak berhasil mendapatkan tempat lain
yang menyediakan sumber daya yang diperlukannya dapat mengalami kepunahan lokal
Populasi beraneka jenis hewan yang berkoeksistensi
dalam habitat yang sama mempunyai keserupaan pula dalam kisaran toleransinya
terhadap beberapa faktor lingkungan dalam mikrohabitat. Berdasarkan konsep relung
ekologi menurut Hutchinson keserupaan menunjukkan adanya keselingkupan dalam
satu atau beberapa dimensi relung (Kramadibrata, 1996).
Berjenis makhluk hidup dapat hidup bersama dalam
satu habitat . Akan tetapi apabila dua jenis makhluk hidup mempunyai relung
yang sama, akan terjadi persaingan. Makin besar tumpang tindih relung kedua
jenis makhluk hidup, makin intensif persaingannya. Dalam keadaan itu
masing-masing jenis akan mempertinggi efisiensi cara hidup atau
profesinya.Masing-masing akan menjadi lebih spesialis, yaitu relungnya
menyempit. Jadi efek persaingan antar jenis adalah menyempitnya relung jenis
makhluk hidup yang bersaing, sehingga terjadi spesialisasi.
Akan tetapi bila populasi semakin meningkat, maka
persaingan antar individu di dalam jenis tersebut akan terjadi pula. Dalam
persaingan ini individu yang lemah akan terdesak ke bagian niche yang marginal.
Sebagai efeknya ialah melebarnya relung, dan jenis tersebut akan menjadi lebih
generalis. Ini berarti jenis tersebut semakin lemah atau kuat. Makin spesialis
suatu jenis semakin rentan makhluk tersebut.
Makin spesialistis suatu jenis, makin rentan
populasinya misalnya wereng yang monofag dan hidup dari tanaman padi,
populasinya kecil setelah masa panen dan memesar lagi setelah sawah ditanami dengan
padi. Populasi yang kecil setelah panen menanggung resiko kepunahan. Sebaliknya
jenis makhluk yang generalis, populasinya tidak banyak berfluktuasi, ia dapat
berpindah dari jenis makanan yang satu ke jenis makanan yang lain. Pada manusia
kita dapatkan hal yang serupa. Bangsa yang makanan pokoknya hanya beras,
hidupnya amat rentan , apabila produksi beras menurun misalnya karena iklim
yang buruk, kehidupannya mengalami kegoncangan.
Pengetahuan tentang relung suatu organisme sangat
perlu sebagai landasan untuk memahami berfungsinya suatu komunitas dan
ekosistem dalam habitat utama. Untuk dapat membedakan relung suatu organisme,
maka perlu diketahui tentang kepadatan populasi, metabolisme secara kolektif,
pengaruh faktor abiotik terhadap organisme, pengaruh organisme yang satu
terhadap yang lainnya.
Banyak, organisme, khususnya hewan yang mempunyai
tahap-tahap perkembangan hidup yang nyata, secara beruntun menduduki relung
yang berbeda. Umpamanya jentik-jentik nyamuk hidup dalam habitat perairan
dangkal, sedangkan yang sudah dewasa menempati habitat dan relung yang
samasekali berbeda Relung atau niche burung adalah pemakan buah atau biji,
pemakan ulat atau semut, pemakan ikan atau kodok.
Niche ada yang bersifat umum dan spesifik.
Misalnya ayam termasuk mempunyai niche yang umum karena dapat memakan cacing,
padi, daging, ikan, rumput dan lainnya. Ayam merupakan polifag, yang berarti makan banyak jenis. Makan beberapa jenis
disebut oligofag, hanya makan
satu jenis disebut monofag
seperti wereng, hanya makan padi.
Apabila terdapat dua hewan atau lebih mempunyai
niche yang sama dalam satu habitat yang sama maka akan terjadi persaingan.
Dalam persaingan yang ketat, masing-masing jenis mempertinggi efisiensi cara
hidup, dan masing-masing akan menjadi lebih spesialis yaitu relungnya
menyempit.
Hutchinson (dalam Odum,1993) membedakan antara
relung dasar (Fundamental Niche)
dengan relung nyata (Realized Niche).
Relung dasar didefinisikan sebagai sekelompok kondisi-kondisi fisik yang
memungkinkan populasi masih dapat hidup, tanpa kehadiran pesaing, relung nyata
didefinisikan sebagai kondisi-kondisi fisik yang ditempati oleh
organisme-organisme tertentu secara bersamaan sehingga terjadi kompetisi.
Keterbatasan suatu organisme pada suatu relung tergantung pada adaptasinya
terhadap kondisi lingkungan tersebut.
Relung dasar (Fundamental Niche) tidak dapat dengan mudah ditentukan karena
dalam suatu komunitas persaingan merupakan proses yang dinamis dan kondisi
fisik lingkungan yang beragam mempengaruhi kehidupan suatu organisme. Mc Arthur
(1968) dalam Soetjipta (1992) menyarankan penelitian tentang perbedaan antara
relung ekologi dibatasi dalam satu atau dua dimensi saja seperti hanya diamati
perbedaan relung makan saja atau perbedaan relung aktivitas saja.
Jenis-jenis popilasi yang
berkerabat dekat akan memiliki kepentingan serupa pada dimensi-dimensi relung
sehingga mempunyai relung yang saling tumpang tindih. Jika relung suatu jenis
bertumpang tindih sepenuhnya dengan jenis lain maka salah satu jenis akan
tersingkir sesuai dengan prinsip penyingkiran kompetitif.Jika relung-relu ng
itu bertumpang tindih maka salah satu jenis sepenuhnya menduduki relung
dasarnya sendiri dan menyingkirkan jenis kedua dari bagian relung dasar
tersebut dan membiarkannya menduduki relung nyata yang lebih kecil , atau kedua
jenis itu mempunyai relung nyata yang terbatas dan masing-masing memanfaatkan
kisaran yang lebih kecil dari dimensi relung yang dapat mereka peroleh
seandainya tidak ada jenis lain.
D. Asas Eksklusi Persaingan Dan
Pemisahan Relung
Dengan adanya interaksi
persaingan antara dua spesies atau lebih yang memiliki relung ekologi yang
sangat mirip maka mungkin saja spesies-spesies tersebut tidak berkonsistensi
dalam habitat yang samasecara terus-menerus. Hal ini menunjukkan bahwa suatu
relung ekologi tidak dapat ditempati secara simultan dan sempurna oleh populasi
stabil lebih dari satu spesies. Pernyataan ini dikenal sebagai ” Asas Eksklusi
Persaingan” atau ” Aturan Gause”.
Sehubungan dengan asas
tersebut di atas, menurut ” asas koeksistensi’, beberapa spesies yang dapat
hidup secara langgeng dalam habitat yang sama ialah spesies-spesies yang relung
ekologinya berbeda-beda. Tentang pentingnya perbedaan-perbedaan diantara
berbagai spesies telah lama dikemukakan oleh Darwin (1859). Darwin menyatakan
ahwa makin besar perbedaan-perbedaan yang diperlihatkan oleh berbagai spesies
yang hidup di suatu tempat, makin besar pula jumlah spesies yang dapat hidup di
suatu tempat itu. Pernyataan Darwin tersebut dikenal sebagai ” Asas
Divergensi”.
Dari uraian tersebut di atas
tampak bahwa aspek relung ekologi yang menyangkut dimensi sumberdaya, khususnya
yang vital untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan, dari beberapa spesies harus
berbeda (terpisah) agar dapat berkoeksistensi dalam habitat yang sama.
Perbedaan atau pemisahan relung itu juga mencakup aspek waktu aktif.
Contoh dari kasusu pemisahan
relung antara berbagai spesies yang berkohabitasi dapat dilihat dari contoh
berikut ini. Serumpun padi dapat menjadi sumberdaya berbagai jenis spesies
hewan. Orong-orong (Gryllotalpa africana)
memekan akarnya, walang sangit (Leptocorisa
acuta) memakan buahnya, ulat tentara kelabu (Spodoptera maurita) yang memakan daunnya, ulat penggerek batang (Chilo
supressalis) yang menyerang batangnya, hama ganjur (Pachydiplosis oryzae) menyerang pucuknya, wereng coklat (Nilaparvata lugens) dan wereng hijau (Nephotettix apicalis) yang menghisap
cairan batangnya. Tiap jenis hama tersebut masing-masing telah teradaptasi
khusus untuk memanfaatkan tanaman padi sebagai sumberdaya makanan pada
bagian-bagian yang berbeda-beda.
E. Ekivalen Ekologi
Jika memperhatikan tentang
kehidupan berbagai jenis hewan di berbagai tempat sering ditemukan
spesies-spesies hewan serupa yang hidup di daerah geografi yang berbeda. Kita
dapat menemukan cacing tanah di mana saja, misal di Indonesia, di Amerika, di
Eropa, di Australia dan tempat lainnya. Cacing-cacing tanah tersebut secara
morfologi serupa, namun sebenarnya mereka berbeda spesies. Cacing tanah di jawa (Pheretima javanica) serupa dengan cacing
tanah di Amerika (Lumbricus terestris).
Kedua jenis cacing tanah
tersebut menempati habitat tanah lembab dengan relung ekologi yang serupa. Jenis-jenis
hewan yang menempati relung ekologi yang sama (ekivalen) dalam habitat yang
serupa di daerah zoogeografi yang berbeda disebut Ekivalen Ekologi.
Secara umum ekivalen-ekivalen
ekologi itu dikenali dari kemiripan kemiripan yang diperlihatkan hewan-hewan
tersebut dalam hal adaptasi morfologisserta pola perilakunya. Sebabnya ialah
karena berbagai adaptasi itu adalah tiada lain daripada perangkat ”modal”
kemampuan hewan untuk memanfaatkan sumberdaya-sumberdaya di dalam lingkungannya
atau habitatnya.
F. Pergeseran Ciri
Spesies-spesies hewan yang
berkerabat dekat, satu marga atau genus misalnya, dapat ditemukan pada habitat
atau daerah penyebaran yang sama (simpatrik) atau ditemukan pada daerah
penyebaran yang berbeda (alopitrik). Jika Spesies-spesies hewan yang berkerabat
dekat (kogenerik) ditemukan dalam keadaan simpatrik, seleksi alam akan
menghasilkan ciri-ciri tubuh yang semakin mencolok perbedaannya diantara
Spesies-spesies itu atau dikatakan mengalami evolusi divergen. Sebaliknya, apabila dalam keadaan alopitrik
seleksi alam akan menghasilkan evolusi konvergen sehingga perbedaan ciri-ciri
itu makin kabur. Fenomena tersebut di atas di kenal sebagai Pergeseran
Ciri.
Evolusi yang menghasilkan
pergeseran ciri pada Spesies-spesies hewan dalam keadaan simpatrik mempunyai
dua kepentingan adaptif bagi spesies-spesies yang bersangkutan. Pertama, karena
ciri (adaptasi morfologis,misalnya) yang nyata bedanya akan menyebabkan
terjadinya pemisahan relung ekologi. Dengan demikian maka kemungkinan
terjadinya interaksi berupa persaingan, apabial spesies itu berkohabitasi, akan
tereduksi. Kedua, berbedanya ciri morfologi yang menghasilkan berbedanya pola
perilaku misalnya perilaku berbiak, akan lebih menjamin terjadinya pemisahan
genetik diantara Spesies-spesies yang berkerabat itu bila berkohabitasi, atau
menghindari terjadinya inbreeding
yang tidak mengintungkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Habitat suatu populasi hewan pada dasarnya
menunjukkan totalitas dari corak lingkungan yang ditempati populasi itu,
termasuk faktor-faktor abiotik berupa ruang, tipe substratum atau medium yang
ditempati, cuaca dan iklimnya serta vegetasinya.
2. Relung ekologi hewan adalah status
fungsional hewan itu dalam habitat yang ditempatinya berkaitan dengan
adaptasi-adaptasi fisiologis, morfologi dan pola perilaku hewan itu.
3. Mikrohabitat adalah bagian dari habitat
yang merupakan lingkungan yang kondisinya paling cocok dan paling akrab
berhubungan dengan hewan.
4. Berdasarkan variasi habitat menurut waktu dapat dibagi menjadi 4 macam
habitat yaitu habitat yang konstan, habitat yang bersifat semusim, habitat yang
tidak menentu, dan habitat yang efemeral.
5. Berdasarkan Variasi kondisi habitat
menurut ruang, habitat dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu habitat
yang bersinambung, habitat yang terputus-putus, habitat yang terisolasi.
6. Dua spesies hewan atau lebih yang hidup
bersama dalam satu habitat disebut berkohabitasi atau berkoeksistensi.
7. Asas eksklusi persaingan atau Aturan Gause
: suatu relung ekologi tidak dapat ditempati secara simultan dan sempurna oleh
populasi stabil lebih dari satu spesies.
8. Asas Divergensi menurut Darwin : makin
besar perbedaan-perbedaan yang diperlihatkan oleh berbagai spesies yang hidup
di suatu tempat, makin besar pula jumlah spesies yang dapat hidup di suatu
tempat itu
9. Jenis-jenis hewan yang menempati relung
ekologi yang sama (ekivalen) dalam habitat yang serupa di daerah zoogeografi
yang berbeda disebut ekivalen-ekivalen ekologi.
10. Jika Spesies-spesies hewan yang berkerabat
dekat (kogenerik) ditemukan dalam keadaan simpatrik, seleksi alam akan
menghasilkan ciri-ciri tubuh yang semakin mencolok perbedaannya diantara
Spesies-spesies itu atau dikatakan mengalami evolusi divergen. Sebaliknya, apabila dalam keadaan alopitrik
seleksi alam akan menghasilkan evolusi konvergen sehingga perbedaan ciri-ciri
itu makin kabur. Fenomena tersebut di atas di kenal sebagai Pergeseran Ciri.
DAFTAR PUSTAKA
Darmawan,Agus. 2005. Ekologi Hewan. Malang : Universitas Negeri
Malang
Kramadibrata, H.
(1996). Ekologi Hewan. Bandung : Institut Teknologi Bandung Press.
Odum, Eugene P (1971) Fundamentals
of Ecology. Saunders College Publishing.
Wirakusumah,
Sambas (2003) Dasar-Dasar Ekologi. Jakarta.
Penerbit UI Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar