Jumat, 09 Maret 2012

Aplikasi BIOTEKNOLOGI


APLIKASI BIOTEKNOLOGI DALAM UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI AGRIBISNIS YANG BERKELANJUTAN

A b s t r a k
Bioteknologi sebagai sebuah alat menawarkan peluang terobosan di dalam memecahkan persoalan kultur teknis tanaman dan kesehatan yang tidak dapat atau terlalu mahal dan/atau terlalu lama diselesaikan dengan menggunakan teknologi konvensional. Keunggulan teknologi berbasis hayati ini terletak pada fokus penanganan masalah yang bersifat mikro di tingkat sel atau molekuler, sehingga waktunya relatif pendek dan hasilnya dapat diprediksikan. Bioteknologi memiliki gradien dari yang terendah yaitu bioteknologi tradisional berupa pemanfaatan mikroba, hingga bioteknologi modern seperti rekayasa genetika. Kompleksitas yang beragam ini harus diupayakan menjadi sederhana ketika teknologi disampaikan ke pengguna, khususnya petani di pedesaan. Pemanfaatan teknologi ini oleh petani di pedesaan akan lebih memperkokoh fondasi agribisnis yang berdaya saing kuat, sehingga memacu terbangunnya komunitas petani dengan kapasitas techno-preneurship yang tinggi. Makalah ini menyajikan konsepsi bioteknologi yang dapat diterapkan di pedesaan guna memfasilitasi kebangkitan sistem pertanian progresif (berkelanjutan). Beberapa contoh proses dan/atau produk bioteknologi disajikan sebagai ilustrasi tentang prospek dari aplikasi bioteknologi di pedesaan.


PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara agraris yang menitik-beratkan pembangunannya pada sektor pertanian. Namun, sangat ironis sekali bahwa berdasarkan data dari BPS (Biro Pusat Statistik) hingga saat ini Indonesia masih mengimpor beras, bahkan pernah mencapai volume 5,8 juta ton. Kondisi ini menyebabkan Indonesia menjadi negara agraris pengimpor beras terbesar di dunia. Peningkatan volume impor produk-produk pertanian lainnya juga mengalami peningkatan. Impor jagung misalnya dari 298.236 ton (1998), 591.056 ton (20% dari kebutuhan, 1999) menjadi 1.199.322 ton (60% dari kebutuhan, 2000). Impor gandum sebesar 3,58 juta ton, kedelai sebesar 1,27 juta ton, gula pasir sebesar 1,7 juta ton. Data BPS juga menunjukkan bahwa pada tahun 2001 Indonesia mengimpor 0,8 juta ton kacang tanah, 0,3 juta ton kacang hijau, bahkan 0,9 juta ton gaplek.
Ada banyak faktor yang menyebabkan penurunan produktivitas pertanian Indonesia. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Bappenas (2002) salah satu penyebabnya adalah berkurangnya lahan pertanian di Indonesia. Luas lahan sawah di Indonesia pada tahun 1983 adalah seluas 16,7 juta ha, pada tahun 2002 luas sawah menyusut menjadi seluas 14 juta ha. Dalam periode tahun 1990 – 1995 konversi lahan subur di Pulau Jawa mencapai 10.000 ha per tahun. Penyebab lain menurut Adi (2003) adalah menurunnya kualitas lahan pertanian di Indonesia akibat erosi, residu bahan kimia seperti herbisida dan pestisida, dan pencemaran logam berat. Penurunan produktivitas pertanian Indonesia berbanding terbalik dengan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Apabila kondisi tersebut di atas tidak mengalami perbaikan yang signifikan, Bappenas (2002) memperkirakan pada tahun 2010 Indonesia akan mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton.
Produsen pertanian adalah petani di pedesaan, sedangkan konsumennya sebagian besar adalah masyarakat di perkotaan. Karena Revolusi Hijau dianggap memiliki dampak buruk bagi kualitas bumi, maka menurut pandangan masyarakat berteknologi maju bioteknologi dianggap dapat menjadi salah satu alternatif untuk meningkatan produksi dan kualitas pertanian di pedesaan. Makalah ini menyajikan secara ringkas peluang aplikasi bioteknologi pertanian di pedesaan untuk meningkatkan efisiensi agribisnis yang berkelanjutan.
kembali ke atas
BIOTEKNOLOGI
Istilah bioteknologi untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Karl Ereky, seorang insinyur Hongaria pada tahun 1917 untuk mendeskripsikan produksi babi dalam skala besar dengan menggunakan bit gula sebagai sumber pakannya (Suwanto, 1998). Bioteknologi berasal dari dua kata, yaitu 'bio' yang berarti makhuk hidup dan 'teknologi' yang berarti cara untuk memproduksi barang atau jasa. Dari paduan dua kata tersebut European Federation of Biotechnology (1989) mendefinisikan bioteknologi sebagai perpaduan dari ilmu pengetahuan alam dan ilmu rekayasa yang bertujuan meningkatkan aplikasi organisme hidup, sel, bagian dari organisme hidup, dan/atau analog molekuler untuk menghasilkan produk dan jasa.
Dengan definisi tersebut bioteknologi bukan merupakan sesuatu yang baru. Tanaman dan hewan telah didomestifikasi sejak ribuan tahun yang lalu. Nenek moyang kita telah memanfaatkan mikroba untuk membuat produk-produk berguna seperti tempe, oncom, tape, arak, terasi, kecap, yogurt, dan nata de coco . Hampir semua antibiotik berasal dari mikroba, demikian pula enzim-enzim yang dipakai untuk membuat sirop fruktosa hingga pencuci pakaian. Dalam bidang pertanian, mikroba penambat nitrogen telah dimanfaatkan sejak abab ke 19. Mikroba pelarut fosfat telah dimanfaatkan untuk pertanian di negara-negara Eropa Timur sejak tahun 1950-an. Mikroba juga telah dimanfaatkan secara intensif untuk membersihkan dan mendekomposisi limbah dan kotoran selama berpuluh-puluh tahun. Dalam bidang medis, vaksin-vaksin tertentu dibuat dari virus atau bakteri yang telah dilemahkan. Bioteknologi memiliki gradien perkembangan teknologi, yang dimulai dari penerapan bioteknologi tradisional yang telah lama dan secara luas dimanfaatkan, hingga teknik-teknik bioteknologi baru dan secara terus menerus berevolusi (Gambar 1).
 
Gambar 1. Gradien Bioteknologi (dimodifikasi dari Doyle dan Presley, 1996).
Perkembangan bioteknologi secara drastis terjadi sejak ditemukannya struktur helik ganda DNA dan teknologi DNA rekombinan di awal tahun 1950-an. Ilmu pengetahuan telah sampai pada suatu titik yang memungkinkan orang untuk memanipulasi suatu organisme di taraf seluler dan molekuler. Bioteknologi mampu melakukan perbaikan galur dengan cepat dan dapat diprediksi, juga dapat merancang galur dengan bahan genetika tambahan yang tidak pernah ada pada galur asalnya. Memanipulasi organisme hidup untuk kepentingan manusia bukan merupakan hal yang baru, bioteknologi menawarkan cara baru untuk memanipulasi organisme hidup.
Seperti halnya teknologi-teknologi yang lain, aplikasi bioteknologi untuk pertanian selain menawarkan berbagai keuntungan juga memiliki potensi resiko kerugian. Keuntungan potensial bioteknologi pertanian antara lain: potensi hasil panen yang lebih tinggi, mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida, toleran terhadap cekaman lingkungan, pemanfaatan lahan marjinal, identifikasi dan eliminasi penyakit di dalam makanan ternak, kualitas makanan dan gizi yang lebih baik, dan perbaikan defisiensi mikronutrien (Jones, 2003).
Potensi resiko bioteknologi terhadap pertanian dan lingkungan antara lain efek balik terhadap organisme non-target, pembentukan hama resisten, dan transfer gen yang tidak diinginkan yang meliputi transfer gen ke tanaman liar sejenis, transfer gen penyandi untuk produksi gen toksik, dan transfer gen resisten antibiotik melalui gen penanda ( marker ) antibiotik. Beberapa kritikan menyebutkan bahwa modifikasi DNA rekombinan menyebabkan pangan tidak aman untuk dimakan. Kelompok pecinta lingkungan mengkritik bahwa organisme trasgenik menyebabkan kerusakan keragaman hayati, karena membunuh organisme liar yang berguna, atau membuat organisme invasif yang dapat merusak lingkungan (Conko, 2003).
Terlepas dari perdebatan keuntungan dan kerugian di atas, prinsip ”kehati-hatian” harus dikedepankan dalam aplikasi bioteknologi untuk pertanian di pedesaan, khususnya rekayasa genetika. Belajar dari pengalaman Revolusi Hijau yang semula dianggap aman, intensifikasi penggunaan pupuk dan pestisida terbukti berakibat buruk yang baru diketahui setelah beberapa puluh tahun kemudian.
kembali ke atas  
BIOTEKNOLOGI PERTANIAN
Peningkatan Kualitas Bahan Tanam
Padi yang berjejer rapi di sawah-sawah pedesaan bukan merupakan sesuatu yang kebetulan terjadi, tetapi merupakan hasil dari kerja keras nenek moyang kita selama beberapa abad. Selama beradab-abad manusia telah membudidayakannya dengan menyilangkan dan menyeleksinya dari tanaman galur liar hingga diperoleh galur padi seperti yang ada saat ini. Dalam pekerjaan penyilangan dan penyeleksian tersebut sesungguhnya manusia telah melakukan transaksi gen (pertukaran bahan genetik) dari berbagai macam kerabat liar menjadi tanaman dengan sifat-sifat yang diinginkan, seperti produksinya tinggi, masa panen singkat, berasnya pulen, tahan wereng, dan lain-lain. Hal yang sama terjadi pada produk-produk pertanian, peternakan, dan perikanan yang merupakan hasil transaksi gen selama berabad-abad.
Transaksi gen dengan cara konvensional membutuhkan waktu yang relatif lama dengan hasil yang sulit diprediksikan. Bioteknologi menawarkan cara alternatif baru dalam transaksi gen dalam waktu yang relatif singkat dengan hasil yang lebih dapat diprediksikan. Metode konvensional transaksi gen dilakukan pada taraf organisme, sedangkan bioteknologi melakukan transaksi gen pada taraf sel atau molekuler. Bahkan bioteknologi mampu menembus batasan taksonomi yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan dengan cara konvensional.
Peningkatan kualitas bahan tanam melalui bioteknologi berdasarkan pada empat kategori peningkatan: peningkatan kualitas pangan, resistensi terhadap hama atau penyakit, toleransi terhadap stress lingkungan, dan manajemen budidaya (Huttner, 2003). Kelompok peneliti yang diketuai oleh Dr. Ingo Potrykus telah berhasil memasukkan dan mengekspresikan dua gen penting dalam pembentukan provitamin A di dalam endosperma padi (Ye et. al., 2000). Padi yang dihasilkan berwarna kuning karena mengandung ß-Karoten dan dikenal dengan ” Golden Rice ”. Rekayasa genetika ini dapat membantu mengurangi gangguan kebutaan dan gangguan kesehatan lain yang disebabkan oleh defisiensi vitamin A yang banyak terjadi di negara-negara miskin dan sedang berkembang.
Penggunaan pestisida oleh petani di pedesaan sudah sangat berlebihan. Residu pestisida yang tertinggal tidak hanya berbahaya bagi lingkungan, tetapi juga berbahaya bagi manusia yang memakannya. Perakitan tanaman yang resisten terhadap hama tertentu dapat mengurangi secara signifikan penggunaan pestisida dan biaya perawatan (Carpenter dan Gianessi, 2001). Contoh tanaman transgenik yang resisten terhadap hama adalah jagung Bt dan kapas Bt, yaitu tanaman yang telah memiliki gen Cry IA yang mematikan jenis hama tertentu.
Perakitan tanaman untuk mengatasi stres lingkungan saat ini telah banyak dilakukan. Sebagai contoh, untuk mengatasi cekaman Al di tanah-tanah masam saat ini tengah dirakit kedelai yang tahan cekaman Al oleh sekelompok peneliti yang diketuai Dr. M.Yusuf dari IPB. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI) melakukan penelitian untuk merakit tanaman tebu yang tahan terhadap cekaman kekeringan.
kembali ke atas
Biofertilizer dan Biodecomposer
Daya dukung sebagian lahan pertanian, terutama di lahan-lahan marginal tergolong rendah sebagai akibat dari rendahnya bahan organik tanah. Bahan organik tanah sebagai sumber energi sangat penting artinya bagi aktivitas mikroba tanah. Sebagian dari mikroba tanah tersebut sangat berperan dalam mekanisme efisiensi pelarutan unsur hara di dalam tanah, baik hara yang berasal dari tanah maupun yang dari pupuk. Oleh karena kadar bahan organik yang rendah, maka aktivitas mikroba tersebut juga rendah. Akibatnya, pupuk kimia yang diberikan ke tanah untuk tanaman, sebagian besar terbuang oleh proses pencucian, penguapan, dan fiksasai. Oleh karena itu, apabila aktivitas mikroba tanah dan/atau bahan organik tanah ditingkatkan, maka efisiensi penyediaan unsur hara dapat ditingkatkan.
Pemanfaatan mikroba tanah untuk pertanian telah dimulai sejak abad ke 19, yaitu pemanfaatan mikroba penambat nitrogen untuk meningkatkan kandungan hara N di dalam tanah. Mikroba tanah yang dapat dimanfaatkan sebagai biofertilizer adalah mikroba pelarut hara, penambat hara, pengikat hara, dan/atau pemantap agregat. Pada dasarnya biofertilizer bukan pupuk dalam pengertian konvensional, seperti urea, SP36, atau MOP, sehingga aplikasinya tidak dapat menggantikan seluruh hara yang dibutuhkan tanaman (Goenadi et. al., 1998). Aplikasi biofertilizer ke dalam tanah, dapat meningkatkan aktivitas mikroba di dalam tanah, sehingga ketersediaan hara berlangsung optimum dan dosis pupuk konvensional dapat dikurangi tanmpa menimbulkan penurunan produksi tanaman dan tanah. Salah satu produk biofertilizer bernama Emas ( Enhancing Microbial Activity in the Soils ) telah dirakit oleh BPBPI (Paten ID 0 000 206 S), dilisensi oleh PT Bio Industri Nusantara dan digunakan di berbagai perusahaan perkebunan (BUMN dan BUMS) (Goenadi, 1999).
Kandungan bahan organik tanah dapat ditingkatkan dengan menambahkan bahan organik limbah pertanian yang telah terdekomposisi (kompos) ke dalam tanah. Proses dekomposisi memerlukan secara alami waktu yang lama (3-6 bulan). Proses dekomposisi dapat dipercepat melalui pengecilan bahan baku dan pemberian aktvator dekomposisi ( Biodecomposer ) (Goenadi, 1997). Pemanfaatan biodecomposer dapat mempercepat proses pengomposan menjadi 2-3 minggu. Selain itu, sebagian mikroba bahan aktif biodecomposer yang masih tertinggal di dalam kompos juga berperan sebagai musuh alami penyakit jamur akar atau busuk pangkal batang.
kembali ke atas
Biokontrol dan Bioremediasi
Mikroba juga telah dimanfaatkan untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Aplikasi mikroba untuk biokontrol hama dan penyakit tanaman meliputi mikroba liar yang telah diseleksi maupun mikroba yang telah mengalami rekayasa genetika. Contoh mikroba yang telah banyak dimanfaatkan untuk biokontrol adalah Bauveria bassiana untuk mengendalikan serangga, Metarhizium anisopliae untuk mengendalikan hama boktor tebu ( Dorysthenes sp) dan boktor sengon ( Xyxtrocera festiva ), dan Trichoderma harzianum untuk mengendalikan penyakit tular tanah ( Gonoderma sp, Jamur Akar Putih, dan Phytopthora sp). Biokontrol tidak selalu menggunakan mikroba sebagai bahan aktinya, Puslit Kopi dan Kakao di Jember saat ini tengah mengembangkan semut hitam untuk mengendalikan hama Penggerek Buah Kakao (PBK). Keuntungan pemanfaatan biokontrol untuk pertanian antara lain adalah ramah lingkungan, dan mengurangi konsumsi pestisida yang tidak ramah lingkungan.
Salah satu penyebab menurunnya kualitas lahan pertanian di Indonesia adalah bayaknya residu bahan kimia sintetik, seperti herbisida. Menurut data dari FAO (1998) penggunaan herbidisa di Indonesia pada tahun 1996 sebesar 26.570 ton. Jumlah ini meningkat sebesar 395% jika dibandingkan pengunaa herbisida pada tahun 1991 (6.739 ton). Upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan yang terkena polusi herbisida tersebut telah dilakukan. Salah satu teknologi alternatif untuk tujuan tersebut adalah melalui bioremediasi . Bioremediasi didefinisikan sebagai proses penguraian limbah organik/anorganik polutann secara biologi dalam kondisi terkendali. Penguraian senyawa kontaminan ini umumny melibatkan mikroorganisme (khamir, fungi, dan bakteri). Pendekatan umum yang dilakukan untuk meningkatkan biodegradasi adalah dengan cara: (i) menggunakan mikroba indigenous (bioremediasi instrinsik), (ii) memodifikasi lingkungan dengan penambahan nutrisi dan aerasi (biostimulasi), (iii) penambahan mikroorganisme (bioaugmentasi) (Sulia, 2003).
kembali ke atas
Peternakan dan Perikanan
Bioteknologi juga telah melakukan beberapa terobosan penting dalam dunia peternakanan dan perikanan. Salah satu keberhasilan yang beberapa waktu lalu cukup mengemparkan dunia adalah keberhasilan Dr. Ian Helmut mengkloning domba yang dikenal dengan ”Dolly”. Keberhasilan ini membuka peluang bagi dunia peternakan untuk mengembangbiakan tenak dengan sifat-sifat yang relatif seragam. Keberhasilan lain adalah rekayasa genetik untuk meningkatkan efisiensi metabolisme ternak/ikan, seperti peningkatan penyerapan pakan, peningkatan kualitas daging, dan produksi susu (Huttner, 2003).
kembali ke atas  
PERTANIAN ORGANIK
Permintaan masyarakat dunia akan produk pertanian organik atau pangan yang berbahan baku hasil pertanian organik menunjukkan peningkatan yang sangat pesat. Peningkatan ini seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan bahaya memakan makanan yang mengandung bahan-bahan sintetik/kimia. Banyak bukti menunjukkan bahwa banyak penyakit yang ditimbulkan oleh residu bahan sintetik/kimia yang terkandung di dalamnya, misalnya kanker akibat bahan-bahan karsinogenik. Mereka mau membayar lebih untuk pangan organik agar mendapatkan kesehatan yang memang mahal harganya.
Permintaan pangan organik di pasaran dunia cenderung naik. Sampai dengan tahun 2005 pangsa pasar pangan organik di negara-negara Eropa, Oseania, Amerika Serikat, Kanada, dan Jepang diperkirakan akan tumbuh rata-rata sekitar 12,5 % per tahun. Diperkirakan pada tahun 2003 mencapai $23 – 25 Milyar dan menjadi $29 – 31 Milyar pada tahun 2005 (Yussefi, 2003). Prospek pasar yang sangat besar ini membuka peluang bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk memproduksi pangan organik. Banyak produk-produk pertanian organik yang tidak dapat diproduksi di negara eropa dan hanya diproduksi di negara-negara tropis, misalnya : kopi, teh, kakao, rempah-rempah, buah-buahan tropis, dan sayuran tropis (FAO, 1999). Untuk meningkatkan produksi pertanian organik pemerintah Indonesia telah meluncurkan program Go Organic 2010.
Pertanian organik adalah sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu, yang mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro-ekosistem secara alami, sehingga mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan. Bioteknologi pertanian berpeluang besar untuk memajukan pertanian organik di Indonesia. Produk-produk bioteknologi yang dapat digunakan dalam pertanian organik antara lain adalah perakitan bahan tanaman unggul yang memiliki produktivitas tinggi dan resisten terhadap hama/penyakit, sehingga tidak memerlukan input pestisida sintetik. Produk-produk biofertilizer dan biodecomposer yang dikombinasikan dengan pupuk hijau dapat menggantikan input pupuk kimia konvensional.
Konversi pertanian konvensional ke pertanian organik tidaklah mudah. Petani akan mengalami penurunan produksi yang cukup besar dibandingkan dengan cara konvensional. Hal ini disebabkan karena kondisi lahan pertanian yang miskin hara dan proses biologi tanah yang telah mengalami gangguan. Pemasaran produk pertanian organik ke negara konsumen utama (Amerika dan Eropa) memerlukan sertifikasi yang memerlukan proses yang tidak mudah dan mahal.
Salah satu produk pertanian organic Indonesia yang telah diakui dan memiliki pasar international adalah kopi dan teh. Gayo Mountain Coffee yang diproduksi oleh petani kopi di Aceh telah mendapatkan sertifikasi dari Skal International dan telah di ekspor ke negara Eropa, Amerika, dan Jepang (Winarso, 2003). Teknologi budidaya teh organik telah dikembangkan oleh peneliti di Puslit Teh dan Kina Gambung (Puslit Teh dan Kina, 2003). Pada saat ini PT Astra Agro Lestari sedang menyiapakan sistem pengelolaan kebun kelapa sawit secara organik (Palgunadi, 2003, komunikasi pribadi).
TANTANGAN APLIKASI BIOTEKNOLOGI DI PEDESAAN
Petani di pedesaan pada umumnya adalah masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah dengan pola pikir yang sederhana. Petani pada umumnya agak sulit untuk menerima dan mempraktekkan teknologi baru seperti bioteknologi pertanian tanpa menyaksikan dan mempraktekan sendiri. Aplikasi bioteknologi pada petani di pedesaan memerlukan usaha yang sungguh-sungguh dan dilakukan secara terus menerus. Ada semacam keraguan bahwa bioteknologi dapat diterapkan dengan sukses di pedesaan oleh petani. Pendapat ini tentunya dilandasi oleh asumsi bahwa bioteknologi merupakan cara atau teknik yang rumit.
Bioteknologi dapat berupa teknik yang sederhana seperti fermentasi tempe atau memerlukan teknik-teknik yang rumit dengan biaya besar. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merakit produk bioteknologi untuk diaplikasikan di pedesaan adalah bahwa serumit apapun proses perakitannya hasil akhir dari proses tersebut harus sesederhana mungkin ( user friendly ). Petani sebagai pengguna bioteknologi dapat dengan mudah mempraktekkannya. Bagi petani hal terpenting adalah bahwa aplikasi bioteknologi dapat menciptakan efisiensi dan peningkatan keuntungan usaha taninya.
Progresifitas usaha tani di pedesaan hanya mungkin berlangsung optimal jika teknologi maju yang diciptakan di perkotaan segera ditransfer ke lahan petani. Tanpa upaya-upaya yang intensif dan konsisten jurang antara kemajuan teknologi dan produktivitas pertanian di pedesaan tidak akan pernah dapat terjembatani. Kemampuan kewirausahaan berbasis teknologi ( Technopreneurship ) menjadi sangat penting untuk secara terus-menerus dibina dikalangan para petani sebagai pelaku usaha di bidang agribisnis.
kembali ke atas  
PENUTUP
Produksi pertanian di Indonesia mengalami penurunan dan tidak mencukupi kebutuhan masyarakat Indonesia. Kondisi ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain semakin sempitnya luas lahan pertanian dan menurunnya kualitas lahan pertanian. Bioteknologi pertanian menawarkan salah satu alternatif untuk meningkatkan efisiensi pertanian di Indonesia. Aplikasi bioteknologi pertanian di pedesaan antara lain adalah peningkatan kualitas bahan tanam meliputi kualitas pangan, resisten terhadap hama dan penyakit, dan toleran terhadap cekaman lingkungan. Apliksi biofertilizer dan biodecomposer yang berbahan aktif mikroba dapat mengurangi konsumsi pupuk konvensional tanpa menurunkan produktivitas pertanian. Selain itu aplikasi biokontrol dapat dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai hama dan penyakit pertanian. Sejalan dengan program Go Organic 2010 yang diluncurkan pemerintah, aplikasi bioteknologi dapat digunakan untuk mengembangkan pertanian organik di pedesaan.
Salah satu hambatan aplikasi bioteknologi di pedesaan adalah tingkat pendidikan petani yang rendah dan sulit untuk mengadopsi teknologi baru. Permasalahan ini dapat diatasi dengan melakukan sosialisasi yang intensif oleh pemerintah dan perakitan produk bioteknologi yang sederhana dan mudah dipraktekkan oleh petani di pedesaan. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah promosi terhadap nilai tambah produk organik bagi kesehatan, sehingga konsumen bersedia membayar lebih mahal daripada produk konvensional. Dengan cara ini insentif bagi petani dapat tercipta dan merangsang bagi kegiatan usaha tani yang berkelanjutan.
kembali ke atas
DAFTAR PUSTAKA
 
Adi, A. 2003. Degradasi Tanah Pertanian Indonesia Tanggung Jawab Siapa? Tabloid Sinar Tani, 11 Juni 2003.
Bappenas. 2002. Indonesia Food Policy Program: Does Indonesia Face a Food Security Time Bomb? Working Paper No. 11. Bappenas/Departemen Pertanian/USAID/DAI FOOD POLICY ADVISORY TEAM.
BPS. 2003. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta
BPS. 2002. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta
BPS. 1994. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta
Carpenter, J. E. And L.P. Gianessi. 2001. Agricultural Biotechnology: Update Benefit Estimates. National Center for Food and Agricultural Policy. www.ncfap.org
Conko, G. 2003. The Benefits of Biotech. Retgulation Spring, p. 20-25.
Doyle, J.J. and Persley, G.J. 1996. Enabling the Safe Use of Biotechnology: Principles and Practice. Enviromentally Sustainable and Natural Studies and Monographs Series No. 10. World Bank. Washinton , DC .
FAO. 1998. Regional Meeting on Herbicide Resistance. Teagu , Korea . 29 June – 3 July 1998. Plant Production and Protection Division. Food and Agriculture Organization of United Nations, Rome .
FAO. 1999. Organic Farming Offers New Opportunities For Farmers Worldwide -Market Access Should Be Improved For Developing Countries. Press release. http://www.fao.org/WAICENT/OIS/PRESS_NE/PRESSENG/1999/pren9903.htm
Goenadi, D.H. , A. Ananta, Gunawan, R. Ishak, M.D. Karim, Y. Sukin, dan B. Hartadi. 1998. Biofertilizer Emas untuk Efisiensi Pemupukan. Kumpulan Makalah Pertemuan Teknis Biotek. Perkebunan untuk Praktek. Bogor 6 – 7 Mei 1998, hal. 61-65.
Goenadi, D.H. 1997. Kompos bioaktif dari tandan kosong kelapa sawit. Kumpulan Makalah Pertemuan Teknis Biotek. Perk. Untuk Praktek. Bogor, 1 mei 1997. Hal. 18-27.
Goenadi, D.H. 1999. Efisiensi Pemupukan Tanaman Perkebunan Melalui Aplikasi Biofertilizer dan Kompos Bioaktif. Makalah disajikan dalam forum diskusi bersama para administratur kebun-kebun lingkup PTP Nusantara XIII, 13 Februari 1999, Pontianak.
Huttner, S.L. 2003. Biotechnology and Food. University of California Systemwide Biotechnology Research and Education Program. www.acsh.org/publications
Ismayadi, C. 1998. Upaya perbaikan mutu kopi arabika spesialti dataran tinggi Gayo, Aceh. Warta Pusat Pene litian Kopi dan Kakao, vol 14 No. 1, p. 45-54
Jones, D.D. 2003. Food and Agricultural Biotechnology for the 21 st Century. www.apctt.org/publication
Persley, G. J. 2002. Agricultural Biotechnology: Global Challenges and Emerging Science, In: Persley, G.J. and L.R. MacIntyre (ed). 2002. Agricultural Biotechnology: Country Case Studies. CAB International. p. 3-37.
Pusat Penelitian Teh dan Kina. 2003. Teknologi Produksi Teh Organik. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia.
Sillia, S.B. 2003. Enviromental Application of Biotechnology. Foundation for Biotechnology Awareness and Education )FBAE). www.fbae.org.
Suwanto, A. 1998. B ioteknologi Molekuler: Mengoptimalkan Manfaat Keanekaragaman Hayati Melalui Teknologi DNA Rekombinan. Hayati, Vol. 5. No. 1. hlm. 25-28.
Suwanto, A. 2000. Tanaman Transgenik: Bagaimana Kita Menyikapinya? Hayati, Vol. 7. No. 1. hlm. 26-30.
Winaryo. 2003. Standard dan Sertifikasi Perkebunan Organic. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao.
Ye, X., S. Al-Babili, A. Kloti, J. Zhang, P. Lucca, P. Bayer, and I. Potrykus. 2000. Engineering the provitamin A ( ß -carotene) biosynthetic pathway into (corotenoid-free) rice endosperm. Science 287: 303-305.
Yussefi, M. and H. Willer (Eds). 2003. The World of Organic Agriculture Statistic and Future Prospects. International Federation of Organic Agriculture Movements.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar