Senin, 12 Maret 2012

Mikosis


MIKOSIS
(Penyakit yang Disebabkan oleh Jamur)


Dari ribuan species ragi dan jamur, sekitar 100 species diantaranya diketahui dapat mengakibatkan mikosis (infeksi akibat jamur) pada hewan dan manusia. Mikosis dikelompokkan atas dasar tempat infeksinya pada tubuh manusia, yaitu mikosis superfisial, mikosis kutan, mikosis subkutan dan mikosis sistemik (profunda). Infeksi yang diakibatkan oleh jamur dapat terjadi secara kompleks dalam skala ringan atau berat. Pada kasus-kasus tertentu juga dijumpai adanya makanisme infeksi skunder akibat mikosis. Reaksi imun sangat berperan penting sebagai pertahanan dari mikosis, namun demikian pengobatan-pengobatan pada spesifikasi tertentu sangat menunjang proses penyembuhan.

A.    Mikosis Superfisial, Adalah infeksi yang disebakan oleh jamur yang menyerang pada daerah superfisial, yaitu kulit, rambut, kuku.
1.      Tinea versicolor : Merupakan infeksi ringan yang nampak dan terjadi akibat pertumbuhan Malassezia furfur yang tidak terkendali. Dalam bahasa lokal dikenal sebagai panu.
Klinis : Muncul bercak putih kekuningan disertai rasa gatal pada kulit dada, punggung, axila leher dan perut bagian atas. Daerah yang terserang akan mengalami depigmentasi.
Pencegahan: dengan menjaga kebersihan badan dan pakaian serta menghindari penularan.
Pengobatan : 1 % selenium sulfida yang digunakan setiap dua hari selama 15 menit kemudian dicuci. Pada kasus yang berkaitan dengan kateter adalah dengan mengangkat kateter yang terpasang.
Diagnosa
Dengan pemeriksaan bahan pemeriksaan kerokan kulit yang mengalami kelainan.
a)      Pemeriksaan langsung dengan KOH 10 % 
Kulit yang mengalami kelainan dilakukan kerokan dengan alat skalpel yang sudah disterilkan dengan alkohol 70 %. Hasil kerokan ditampung pada cawan petri steril atau kertas steril, dan dilakukan pemeriksaan dengan cara diambil dengan ose diletakkan pada objek glas dan diberi KOH 10 % ditutup dengan deck glas dan diperiksa dibawah mikroskop. Secara mikroskopik ditemukan hifa pendek – pendek dan spora bergerombol.

b)      Pemeriksaan sinar wood
Dengan pemeriksaan sinar wood pada daerah infeksi akan memperlihatkan flouresens warna emas atau orange.
Terapi
Dengan pemberian salisil / salep imidazol / mikonazol / klotrimazol dan pemberian ketokonazol secara oral.  








2.      Tinea nigra : Infeksi pada lapisan kulit (stratum korneum) akibat serangan Exophiala weneckii.
Klinis : Muncul bercak-bercak (makula) berwarna coklat kehitaman. Bercak tersebut terisi oleh hifa bercabang, bersepta, dan sel-sel yang bertunas, akan tetapi tetap terlihat datar menempel pada kulit (tidak membentuk bagian yang menonjol, seperti sisik ataupun reaksi yang lain)
Diagnosa
Bahan pemeriksaan berasal dari kerokan kulit tempat infeksi, hasil kerokan langsung dilakukan pemeriksaan mikroskopik dengan menggunakan KOH 10 %. Jamur akan tampak hifa dan tunas yang berwarna hitam atau hijau tua dengan spora yang bergerombol.
Pencegahan : dengan menjaga kebersihan badan dan pakaian serta menghindari penularan.
Pengobatan : Pemberian asam undersilenat atau anti jamur azol.
3.      Piedra : Dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu White Piedra disebabkan oleh Trichosporon Beigelli dan Black Piedra diakibatkan oleh Piedraia hortae.
Klinis terbentuknya nodul hitam keras di sekitar rambut kepala (Black piedra) terbentuk nodul yang lebih halus pada rambut ketiak, kemaluan, janggut.
Pengobatan : Pemotongan rambut dan pemalkaian anti jamur tropikal.
a.       Piedra Hitam
Merupakan infeksi jamur pada rambut kepala yang disebabkan oleh  Piedraia hortai. Infeksi terjadi karena rambut kontak dengan spora jamur. Rambut yang terinfeksi mengalami kelainan berupa benjolan yang keras pada rambut yang berwarna coklat kehitaman. Benjolan sulit dilepaskan jika dipaksakan rambut akan patah. Penderita tidak mengalami gangguan hanya pada saat menyisir rambut mengalami kesulitan.
Diagnosa
Bahan pemeriksaan berasal dari potongan rambut yang terinfeksi, dilakukan pemeriksaan langsung dengan menggunakan KOH 10 %.  Hasil mikroskopik akan tampak hifa yang padat berwarna tengguli dan ditemukan askus yang mengandung askospora. 
Kultur
Jika ditaman pada media SGA tampak koloniyang berwarna Hitam
            


b.      Piedra Putih
Merupakan infeksi jamur pada rambut yang disebabkan oleh Trichosporon cutaneum. Infeksi terjadi karena  rambut kontak dengan spora jamur. Rambut yang terifeksi mengalami kelainan berupa benjolan yang tidak berwarna .   
Diagnosa 
Bahan pemeriksaan berasal dari rambut yang terinfeksi dilakukan pemeriksaan langsung dengan menggunakan KOH 10 %. Tampak anyaman hifa yang padat tidak berwarna atau putih kekuningan, ditemukan arthrospora pada ujung hifa.
Kultur
Bahan pemeriksaan jika ditanam pada media akan tumbuh koloni yang berwarna kuning, granuler.












4.      Tinea Flavosa : Infeksi pada kulit kepala, kulit badan yang tidak berambut dan berkukudisebabkan oleh Trichopyton schoenleinii.
Klinis : Gejala awal berupa bintik-bintik putih pada kuli kepala kemudian membesar membentuk kerak yang berwarna kuning kotor, Kerak sangat lengket, bila diangkat akan meninggalkan luka basah. Dapat menyebabkan kebotakan yang menetap.
5.      Otomycosis : Infeksi pada telinga luar dan liang telinga disebabkan oleh serangan Aspergillus, Penicillium, Mocor, Rhizpus, Candida.
Klinis : muncu rasa gatal dan sakit pada lubang telinga dan kulit sekitar. Jika terjadi infeksi skunder oleh bakteri, akan menjadi bernanah.
6.      Tinea barbae
Merupakan infeksi jamur yang menyerang daerah yang berjanggut dan kulit leher, rambut dan folikel rambut. Penyebabnya adalah Trichophyton mentagrophytes, Trichophyton violaceum, Microsporum cranis.
7.      Tinea cruris
Merupakan infeksi mikosis superfisial yang mengenai paha bagian atas sebelah dalam. Pada kasus yang berat dapat pula mengenai kulit sekitarnya. Penyebabnya adalah Epidermophyton floccosum atau Trichophyton sp.

B.     Mikosis Kutan, Adalah infeksi yang disebakan oleh jamur yang menyerang pada daerah superfisial yang terkeratinisasi , yaitu kulit, rambut, kuku. Tidak ke jaringan yang lebih dalam.
1.      Tinea pedis (kaki atlet) : Infeksi menyerang jaringan antara jari-jari kaki dan berkembang menjadi vesikel-vesikel kecil yang pecah dan mengeluarkan cairan encer, disebabkan oleh Trichophyton rubrum, T. Mentagrophytes, Epidemirmophyton floccosum.
Klinis : Kulit antara jari kaki mengalami pengelupasan dan kulit pecah-pecah, dapat juga terjadi infeksi skunder.
Pencegahan : Jaga kebersihan badan dan lingkungan.
Pengobatan : Fase akut : rendam dalam kalium permanganat 1 : 5000 sampai peradangan mereda, kemudian berikan bahan kimia anti jamur (asam benzoat, asam salisilat, krim asam undersilat, krim mikonazol).Pada fase menahun : Berikan bahan kimia krim antijamur pada waktu malam dan bahan kimia bedak antijamur pada siang hari.
2.      Tinea Korporis, Tinea Kurtis (Kurap) : Menyerang kulit tubuh yang tidak berambut, disebabkan oleh serangan jamur T. Rubrum, T metagrophytes, E. floccosum. Hifa tumbuh aktif ke arah pinggir cincin stratum korneum yan belum terserang.
Klinis : Sering menimbulkan lesi-lesi anuler kurap, dengan bagian tengah bersisik dikelilingi oleh pingiran merah meninggi sering mengandung volikel. Waktu hifa menjadi tua dan memisahkan diri menjadi artrospora, sel-sel yang mengandung artrosphora mengelupas, sehinga pada beberapa kasus terdapat bagian tengah yang bersih pada lesi kurap.
Pencegahan : Jaga kebersihan badan dan lingkungan
Pengobatan : Gunakan asam benzoat, asam salisilat, krim asam undersilat, krim mikonazol.
3.      Tinea kaptitis (kurap kulit kepala) : Infeksi microsporum terjadi pada masa kanak-kanak dan biasanya aka sembuh pada saat memasuki masa puberitas. Sedangkan jika infeksi disebabkan oleh Trichophyon yang tidak diobati akan menetap sampai dewasa.
Klinis : infeksi dimulai pada kulit kepala , selanjutnya ermofita tumbuh ke bawah mengikuti dinding keratin folikel rambut. Infeksi pada rambut terjadi di atas akar rambut. Rambut menjadi mudah patah dan meninglakna potongannya yang pendek. Pada bagian kulit kepala yang botak terlihat bentuk kemerahan, edema, bersisik dan membentuk vesikel, pada kasus yang lebih parah dapat menyebabkan peradangan dan mengarah pada mikosis sistemik.
Pencegahan : Jaga kebersihan badan dan lingkungan. Kasus-kasus sporadis biasanya diperoleh dari anjing atau kucing. Mencegah penggunaan gunting dan alat cukur untuk bersama. Hindari kontak dengan orang yang terinfeksi.
Pengobatan : pada infeksi kuli kepala rambut dapat dicabut degan tangan, sering keramas dan mengunakan krim antijamur mikonizol.
C.     Mikosis Subkutan, Adalah Infeksi oleh jamur yang mengenai kulit, mengenai lapisan bawah kulit meliputi otot dan jaringan konektif (jaringan subkutis) dan tulang.
1.      Sporotrichosis : Akibat infeksi Sporothrix schenckii, yang merupakan jamur degan habitat pada tumbuh-tumbuhan atau kayu. Invasi terjadi ke dalam kulit melalui trauma, kemudian menyebar melalui aliran getah bening.
Klinis : Terbentuk abses atau tukak pada lokasi yang terinfeksi, Getah bening menjadi tebal, Hampir tidak dijumpai rasa sakit, terkadang penyebaran infeksi terjadi juga pada persendian dan paru-paru. Akibat secara histologi adalah terjadinya peradangan menahun, dan nekrosis.
Pengobatan : Pada kasus infeksi dapat sembuh dengan sendirinya walaupun menahun, meskipun demikian dapat juga diberikan Kalium iodida secara oral selama beberapa minggu.
2.      Kromoblastosis : infeksi kulit granulomatosa progresif lambat yang disebabkan oleh Fonsecaea pedrosoi, Fronsecaea compacta, Phialophora verrucosa, Cladosporium carrionii. Habitat jamur ini adalah di daerah tropik, terdapat di dalam tumbuhan atau tanah, di alam berada dalam keadaan saprofit.
Klinis : Terbentuknya nodul verrucous atau plaque pada jaringan subkutan. Jamur masuk melalui trauma ke dalam kulit biasanya pada tungkai atau kaki, terbentuk pertumbuhan mirip kutil tersebar di aliran getah bening
Pencegahan : Pemakaian sepatu pada saat beraktifitas di lingkungan terbuka ( lapangan tanah, sawah, kebun dll.)
Pengobatan : Dilakukan pembedahan pada kasus lesi yang kecil, sedangkan untuk lesi yang lebih besar dilakukan kemoterapi dengan flusitosin atau itrakonazol.
3.      Mycetoma (madura foot) : Infeksi pada jaringan subkutan yang disebabkan oleh jamur Eumycotic mycetoma dan atau kuman (mikroorganisme) mirip jamur yang disebut Actinomycotic mycetoma.
Klinis : ditandai dengan pembengkakan seperti tumor dan adanya sinus yang bernanah. Jamur masuk ke dalam jaringan subkutan melalui trauma, terbentuk abses yang dapat meluas sampai otot dan tulang. Jamur terlihat terlihat sebagai granula padat dalam nanah. Jika tidak diobati maka lesi-lesi akan menetap dan meluas ke dalam dan ke perifer sehingga berakibat pada derormitas.
Pencegahan : Pemakaian sepatu pada saat beraktifitas di lingkungan terbuka ( lapangan tanah, sawah, kebun dll.)
Pengobatan : dengan kombinasi streptomisin, trimetropin-sulfametoksazol, dan dapson pada fase dini sebelum terjadi demorfitas. Pembuatan drainase melaui pembedahan dapat membantu penyembuhan.

D.    Mikosis Sistemik, Adalah infeksi jamur yang mengenai organ internal dan jaringan sebelah dalam. Seringkali tempat infeksi awal adalah paru-paru, kemudian menyebar melalui darah. Masing-masing jamur cenderung menyerang organ tertentu. Semua jamur bersifat dimorfik, artinya mempunyai daya adaptasi morfologik yang unik terhadap pertumbuhan dalam jaringan atau pertumbuhan pada suhu 37 o C.
Mikosis subkutan akut kerapkali juga berdampak pada terjadinya mikosis sistemik melalui terjadinya infeksi skunder.
1.      Blastomikosis : infeksi yang terjadi melalui saluran pernafasan, menyerang pada kulit, paru-paru, organ vicera tulang dan sistem syaraf yang diakibatkan oleh jamur Blastomycetes dermatitidis dan Blastomycetes brasieliensi
Klinis : Kasusnya bervariasi dari ringan hinga berat, pada kasus ringan biasanya dapat sembuh dengan sendirinya. Berbagai gejala umum akibat mikosis ini tidak dapat dibedakan dengan infeksi pernafasan bawah akut lain ( demam, batuk, berkeringat malam). Jika terjadi penyebaran maka dapat mengakibatkan timbulnya lesi-lesi pada kulit di permukaan terbuka (leher,muka, lengan dan kaki).
Pengobatan : melalui pemberian ketokonazol dan intrakonazol selama 6 bulan akan bermanfaat.
2.      Kokodiodomikosis : disebabkan oleh Coccidiodes immitis yang hidup di tanah, mikosis ini menyerang paru-paru.
Klinis : Infeksi dapat terjadi melalui inhalasi, gejala yang umum timbul adalah demam, batuk, sakit kepala, kompleks gejala tersebut dikenal sebagai demam valley atau desert rheumatism, dan biasanya dapat sembuh dengan sendirinya.
Pengobatan : setelah sembuh dari infeksi primer oleh Coccidiodes immitis biasanya telah terbentuk imunitas terhadap infeksi serupa. Pada kasus penderita dengan difisiensi imun maka diberikan amfoterisin B dan diikuti dengan pemberian azol oral dalam beberapa bulan.
3.      Hitoplasmosis : Disebabkan oleh Hitoplasma capsulatum, jamur ini hidup pada tanah dengan kandungan nitrogen tinggi (tanah yang terkontaminasi dengan kotoran unggas atau ternak)
Klinis : Infeksi terjadi melalui proses pernafasan. Konidia yang terhirup diliputi oleh makrovag areolar akhir-nya berkembang menjadi sel-sel bertunas. Meskipun infeksi dapat menyebar secara cepat namun 99% infeksi bersifat asimtomatik. Gejala yang timbul berupa sindroma flu yang dapat sembuh dengan sendirinya. Pada kasus penderita dengan defisiensi imun, hipoplasmosis dapat berakibat pada terjadinya pembengkakan limpa dan hati, demam tinggi , anemia. Juga dapat terjadi tukak-tukak pada hidung, mulut lidah, dan usus halus.
Pengobatan : Setelah sembuh dari infeksi ini maka akan terbentuk imunitas dalam tingkat tertentu yang mencegah terjadinya infeksi serupa. Jika infeksi telah menyerbar maka pemberian amfoterisin B sering kali dapat menyembuhkan. Akan tetapi pada penderita AIDS diperlukan terapi khusus.
4.      Parakoksidiomikosis : Mikosis yang diakibatkan oleh jamur Paracoccidioides brasiliensis ( Blastomyces brasiliensis). Organisme infektif terhirup pada proses pernafasan.
Klinis : Gejala yang terlihat antara lain adalah pembesaran kelenjar getah bening atau gang-guan gastrointestinal. Pada awal infeksi akan terbentuk lesi-lesi pada paru-paru, kemudian penyebarannya terjadi menuju limpa, hati, selaput mukosa dan kulit.
Pengobatan: pemberian sulfoamida secara oral, terbukti efektif pada Parakoksidiomikosis ringan, jika penaganan tersebut belum menunjukkan hasil yang berarti maka diberikan keto-konazol, sedangkan pada kasus yang lebih berat, maka digunakan Amfoterisin B.

Daftar Pustaka

Entjang. Indan.2003. Mikrobiologi & Parasitologi. PT.Citra Aditya bakti. Bandung.
Gould. Dinah.2003. Mikrobiologi Terapan Untuk Perawat. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Melnick. Jawetz. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
www. arthur@fk.unair.ac.id. 29, maret 2008.

Toxoplasma



Apakah Toxoplasma dan Toxoplasmosis itu ?
Toxoplasma atau Toxoplasma gondii adalah sejenis hewan bersel satu yang sering juga disebut protozoa. Toxoplasma merupakan  parasit  yang dapat menginfeksi hewan dan manusia.
Toxoplasmosis adalah nama penyakit pada hewan dan manusia yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii.
Mengapa Toxoplasma gondii sering disebut virus ?
Toxoplasmosis terkenal sebagai salah satu penyakit yang harus diwaspadai pada ibu-ibu atau calon ibu yang hendak mengandung anaknya (hamil). Penyakit lainnya adalah Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes. Semua penyakit ini sering disingkat menjadi TORCH (Toxoplasma,Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes). Ketiga penyakit terakhir disebabkan oleh virus, sehingga orang sering salah pengertian dan menganggap toxoplasma adalah virus.
Siapa saja yang dapat terinfeksi toxoplasma ?
Semua orang  dapat terinfeksi toxoplasma. Laki-laki  dan perempuan baik muda ataupun tua dapat terinfeksi toxoplasma.
Hewan apa saja yang dapat terinfeksi toxoplasma ?
Hampir semua hewan berdarah panas dapat terinfeksi toxoplasma. Hewan yang sering berada disekitar manusia & kucing seperti sapi, kuda, tikus, domba, anjing, ayam, burung, babi dll juga dapat terinfeksi toxoplasma. Satwa liar seperti musang, harimau, anjing hutan, dll juga dapat terinfeksi toxoplasma.
Mengapa kucing dianggap sebagai sumber utama penularan toxoplasma ?
Sebenarnya semua hewan berdarah panas dapat terinfeksi dan menularkan toxoplasma kepada manusia. Toxoplasma berkembang biak mengikuti suatu siklus hidup (seperti siklus hidup pada kupu-kupu). Toxoplasma dapat berkembang dengan cara membelah diri (non seksual) dan seksual (makro gamet dan mikro gamet). Pada hewan-hewan selain kucing toxoplasma berkembang biak dengan cara non seksual. Kucing adalah inang definitif toxoplasma. Dalam tubuh kucing, toxoplasma dapat berkembangbiak dengan cara seksual dan non seksual.
Bagaimana cara penularan toxoplasma ?
Kucing yang terinfeksi toxoplasma hanya menyebarkan ookista dalam jangka waktu tertentu, yaitu sekitar 10 hari sejak terinfeksi. Setelah 10 hari jumlah ookista yang disebarkan biasanya sangat sedikit dan mempunyai resiko penularan yang sangat kecil. Penyebaran ookista ini biasanya terjadi pada kucing muda. Penyebaran ookista biasanya tidak terjadi pada kucing dewasa karena sistem kekebalan tubuh mereka lebih baik dan relatif dapat mengendalikan sendiri infeksi toxoplasma tersebut.
Manusia atau hewan dapat tertular bila menelan kista atau ookista toxoplasma. Kista atau ookista ini bersifat seperti “telur”. Telur yang tertelan tersebut akan menetas dan berkembang di dalam tubuh hewan atau manusia.
Kista tersebut dapat hidup dalam otot (daging) manusia dan berbagai hewan lainnya. Penularan juga dapat terjadi bila hewan atau manusia tersebut memakan daging mentah atau daging setengah matang yang mengandung kista toxoplasma.
Kista toxoplasma juga dapat hidup di tanah dalam jangka waktu tertentu. Dari tanah ini toxoplasma dapat menyebar melalui hewan, tumbuh-tumbuhan atau sayuran yang kontak dengan kista tersebut.
Mengapa orang yang tidak memelihara kucing bisa terinfeksi  toxoplasma ?
Toxoplasma terdapat diseluruh dunia secara meluas. Kucing bukanlah sumber utama penularan toxoplasma. Yang pasti orang tersebut pernah menelan kista toxoplasma yang masih hidup. Kista bisa berada pada sayuran  atau daging yang tidak dimasak sempurna.
Benarkah toxoplasma menular melalui liur dan bulu kucing ?
Tidak. Bentuk menular dari toxoplasma adalah bradizoit dan kista, kista hanya dikeluarkan oleh kucing yang positif terinfeksi melalui kotorannya (feces). Selama bulu dan liur kucing tidak mengandung kista kita tidak akan tertular toxoplasma bila membelai bulu kucing. Bahkan bila pada bulu kucing terdapat kista, dan pindah ke tangan kita pada saat membelai bulunya, penularan masih bisa dicegah dengan mencuci tangan dengan sabun hingga bersih.

Bagaimana gejala manusia yang terinfeksi toxoplasma ?
Sebagian besar manusia yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala sama sekali (subklinis). Meskipun jarang terjadi, pada infeksi yang akut dapat mengakibatkan pembengkakan kelenjar pertahanan (limfoglandula) yang terdapat disekitar leher, ketiak, dll.
Apa akibat toxoplasma pada hewan
Sebagian besar infeksi toxoplasma pada hewan bersifat sub klinis (ringan dan tidak menunjukkan gejala sama sekali). Pada infeksi yang parah dapat menyebabkan diare dan cacat pada fetus kucing atau hewan lainnya
Bagaimana akibat toxoplasma pada manusia
Pada pria, infeksi akut toxoplasma dapat menyebabkan pembengkakan kelenjar getah bening. Bila berlangsung terus menerus dapat menyebabkan kemandulan. Toxoplasma dan menginfeksi dan menyebabkan peradangan pada saluran sperma. Radang yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya penyempitan bahkan tertutupnya saluran sperma. Akibatnya pria tersebut menjadi mandul, karena sperma yang diproduksi tidak dapat dialirkan untuk membuahi sel telur.
Seperti pada pria, infeksi toxoplasma yang berlangsung terus menerus dapat menginfeksi saluran telur wanita. Bila saluran ini menyempit atau tertutup, sel telur yang telah dihasilkan oleh indung telur (ovarium) tidak dapat sampai ke rahim untuk dibuahi oleh sperma.
Yang paling berbahaya adalah akibat toxoplasma terhadap Janin/fetus. Kista toxoplasma bisa berada di otak janin menyebabkan cacat dan berbagai macam gangguan syaraf seperti gangguan syaraf mata (buta, dll). Akibat lainnya adalah janin dengan ukuran kepala yang besar dan berisi cairan (hidrocephalus).
 
salah satu akibat toxoplasma

Banyak penyebab hidrocephalus, salah satunya adalah toxoplasma





1.        Mirip Tumbuhan
2.        Mirip Jamur

Jumat, 09 Maret 2012

Hakekat Biologi sebagai Ilmu


HAKEKAT BIOLOGI SEBAGAI ILMU

Perkembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan alam (IPA) telah mengubah sejarah kehidupan manusia. Perkembangan itu semakin pesat setelah diketemukannya komputer yang dapat membantu manusia dalam merancang dan menganalisis hasil-hasil penelitian. Di dunia kedokteran telah ditemukan berbagai teknik bedah, transplantasi organ, terapi genetik, bayi tabung, serta obat-obatan penyembuh berbagai penyakit. Itu semua berkat perkembangan IPA. Ilmu pengetahuan alam adalah ilmu yang mempelajari gejala-gejala alam dan ingin memahami alam apa adanya.
1. Karkteristik Biologi sebagai ilmu (Sains)
Ilmu pengetahuan berkembang karena hakikat manusia yang serba ingin tahu. Mengembangkan ilmu pengetahuan tidak harus berawal dari nol, melainkan bisa dari hasil penelitian orang lain asal sesuai dengan karakteristik sains itu sendiri. Biologi bagian dari sains yang memiliki karakteristik yang sama dengan ilmu sains lainnya. Adapun karakteristik ilmu pengetahuan alam termasuk biologi (SAINS/IPA) yaitu:
Obyek kajian berupa benda konkret dan dapat ditangkap indera
Dikembangkan berdasarkan pengalaman empiris (pengalaman nyata)
Memiliki langkah-langkah sistematis yang bersifat baku
Menggunakan cara berfikir logis, yang bersifat deduktif artinya berfikir dengan menarik kesimpulan dari hal-hal yang khusus menjadi ketentuan yang berlaku umum. Bersifat deduktif artinya berfikir dengan menarik kesimpulan dari hal-hal yang umum menjadi ketentuan khusus.
Hasilnya bersifat obyektif atau apa adanya, terhindar dari kepentingan pelaku (subyektif)
Hasil berupa hukum-hukum yang berlaku umum, dimanapun diberlakukan
2. Ruang lingkup biologi
Berdasarkan struktur keilmuan menurut BSCS (Biological Science Curricullum Study, Mayer 1980) bahwa ruang lingkup biologi meliputi obyek biologi berupa kingdom (plantae, animalia, protista, fungi, archebacteria, eubacteria). Ditinjau dari tingkat molekul (virus) - sel (protozoa, bakteri dan tumbuhan unisel) - jaringan (porifera & coelenterata) - organ (hati, ginjal, dll) - sistem organ (sistem sirkulasi, sistem transportasi, dll) - individu (manusia) – populasi (kumpulan individu yang sama di daerah yang sama) – komunitas (kumpulan beberapa populasi) – ekosistem (kumpulan beberapa komunitas) – biosfer (kumpulan bebrapa ekosistem). Adapun persoalan yang dikaji meliputi 9 tema dasar yaitu :
1. Biologi (sains) sebagai proses inkuiri
2. Sejarah konsep biologi
3. Evolusi
4. Keanekaragaman dan keseragaman
5. Genetika dan kelangsungan hidup
6. Organisme dan lingkungan
7. Perilaku
8. Struktur dan fungsi
9. Regulasi
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, obyek biologi juga terus berkembang.
3. Dampak mempelajari biologi
Peran biologi dalam kehidupan memberikan dampak negatif dan dampak positif. Dampak positif atau manfaatnya yaitu (1) Manusia sadar terhadap hidup dan kehidupan dalam lingkungan, (2) Diciptakan bibit unggul yang ramah lingkungan, (3) pemanfaatan mikroorganisme dalam segala bidang. Sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan yaitu (1) Mengeksploitasi SDA dengan sembarangan, (2) Penggunaan bibit unggul dan pestisida berlebihan yang akan berdampak pada biodeversitas, (3) Penggunaan senjata biologi yang mematikan, yang akan merusak lingkungan biotik maupun abiotik. Oleh karena itu kemajuan biologi yang demikian pesatnya harus diimbangi dengan iman dan takwa, sehingga pemanfaatan lebih optimal dan meminimalkan dampak negatif yang ada.
4. Metode ilmiah
Biologi merupakan cabang sains yang mempelajari berbagai permasalahan makhluk hidup, dan untuk mempelajari melalui proses dan sikap ilmiah ini sebagai konsekuensi biologi. Dengan menggunakan proses dan sikap ilmiah akan memperoleh produk ilmiah. Dalam mempelajari sains terdiri dari 3 komponen yaitu :
Sikap ilmiah
Merupakan sikap yang harus dimiliki untuk berlaku obbyektif dan jujur saat mengumpulkan dan menganalisa data.
Proses ilmiah
Merupakan perangkat ketrampilan kompleks yang digunakan dalam melakukan kerja ilmiah. Proses ilmiah dapat dilakukan dengan pendekatan ketrampilan proses dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu:
1) Ketrampilan proses sains dasar, meliputi:
a. Mengobservasi
Mencari gambaran atau informasi tentang objek penelitian melalui indera. Dalam biologi hasil observasi seringkali dibuat dalam bentuk gambar (misal gambar dunia dll), bagan (missal bagan siklus hidup kupu-kupu), tabel (misal tabel pertumbuhan penduduk suatu wilayah), grafik (misal grafik hubungan antara tabel pertumbuhan kecambah), dan tulisan.
b. Menggolongkan
Untuk mempermudah dalam mengidentifikasi suatu permasalahan.
c. Menafsirkan
Memberikan arti sesuatu fenomena/kejadian berdasarkan atas kejadian lainnya.
d. Mempraktikkan/meramalkan
Memperkirakan kejadian berdasarkan kejadian sebelumnya serta hukum-hukum yang berlaku. Prakiraan dibedakan menjadi dua macam yaitu prakiraan intrapolasi yaitu prakiraan berdasarkan pada data yang telah terjadi; kedua prakiraan ekstrapolasi yaitu prakiraan berdasarkan logika di luar data yang terjadi.
e. Mengajukan pertanyaan
Berupa pertanyaan bagaimana, karena pertanyaan ini menuntut jawaban yang diperoleh dengan proses.
2) Ketrampilan proses sains terpadu, yang terdiri dari:
a. Mengidentifikasi variabel
b. Menyusun tabel data
c. Menyusun grafik
d. Mendeskripsikan hubungan antar variabel
e. Perolehan data dan pemrosesan data
f. Menganalisia penyelidikan
g. Merumuskan hipotesis
h. Mendefinisikan variabel secara operasional
i. Melakukan eksperimen
j. Inferens
3) Langkah sistematis dalam proses ilmiah/metode ilmiah meliputi:
Merumuskan masalah
Ada tiga cara dalam merumuskan permasalahan yaitu:
a. Apakah variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat objek eksperimen?
b. Bagaimana pengeruh variabel bebas terhadap variabel terikat objek eksperimen?
c. Apakah ada hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat objek eksperimen?
Menyusun kerangka berfikir
Kerangka berfikir dicari melalui kepustakaan atau fakta empiris.
Merumuskan hipotesis
Hipotesis merupakan suatu dugaan yang merupakan jawaban sementara terhadap masalah sebelum dibuktikan. Ada 2 macam hipotesis dalam eksperimen yaitu:
a. Hipotesis nol (H0) : tidak ada pengnaruh dari variabel bebas terhadap variabel terikat
b. Hipotesis alternatif (H1) : ada pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel terikat
Melakukan eksperimen
Untuk mendukung atau menyangkal hipotesa itu perlu dibuktikan melalui eksperimen. Dalam melakukan eksperimen melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Taraf perlakuan
b. Pengendalian faktor lain
c. Ulangan
d. Pengukuran
Analisis data
Analisa data dapat menggunakan statistik atau secara deskriptif.
Menarik kesimpulan
Ada dua kemungkinan dalam kesimpulan yaitu hipotesis diterima (dugaan sementara sesuai dengan eksperimen) atau ditolak (dugaan sementara tidak sesuai dengan eksperimen).
Publikasi
Hasil penelitian di publikasikan ke kalayak melalui jurnal penelitian, seminar atau lewat internet.
4) Sistematika laporan penelitian
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
B. Rumusan masalah
C. Tujuan penelitian
D. Manfaat penelitian
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian teori
B. Kajian dan hasil-hasil penelitian
C. Rumusan hipotesis
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Variabel dan definisi operasional variabel
B. Rancangan penelitian
C. Sasaran penelitian (populasi dan sampel)
D. Instrumen, alat dan bahan
E. Prosedur pelaksanaan penelitian
F. Rencana analisis data
G. Jadwal penelitian
BAB IV. DATA DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi data
B. Interpretasi data
C. Uji hipotesis
D. Pembahasan
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Produk ilmiah
Dengan menggunakan sikap dan proses ilmiah, para ahli memperoleh penemuan-penemuan yang dapat berupa fakta atau teori. Produk ilmiah sangat berpengaruh pada perkembangan ilmu dan teknologi. Produk ilmiah ditujukan untuk kesejahteraan manusia dengan menciptakan sesuatu yang baru dan berdaya guna bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia

Tonsilektomi


TONSILITIS AKUT
(TONSILEKTOMI)

A.  Pengertian
Tonsilitis adalah terdapatnya peradangan umum dan pembengkakan dari jaringan tonsil  dengan pengumpulan lekosit, el-sel epitel mati dan bakteri patogen dalam kripta (Adam Boeis, 1994: 330).
Tonsilektomi adalah suatu tindakan invasif yang dilakukan untuk mengambil tonsil dengan atau tanpa adenoid (Adam Boeis, 1994: 337).

B.  Etiologi
1.    Streptokokus hemolitikus grup A.
2.    Pneumokokus.
3.    Stafilokokus.
4.    Haemofilus influezae.

C.  Pathofisiologi
1.    Terjadinya peradangan pada daerah tonsila akibat virus.
2.    Mengakibatkan terjadinya pembentukan eksudat.
3.    Terjadi selulitis tonsila dan daerah sekitarnya.
4.    Pembentukan abses peritonsilar.
5.    Nekrosis jaringan.

D.  Gejala-gejala
1.    Sakit tenggorokan dan disfagia.
2.    Penderita tidak mau makan atau minum.
3.    Malaise.
4.    Demam.
5.    Nafas bau.
6.    Otitis media merupakan salah satu faktor pencetusnya.
E.   Penatalaksanaan
1.    Tirah baring.
2.    Pemberian cairan adekuat dan diet ringan.
3.    Pemberian obat-obat (analgesik dan antibiotik).
4.    Apabila tidak ada kemajuan maka alternatif tindakan yang dapat di lakukan adalah pembedahan.
F.   Indikasi tindakan pembedahan
1.    Indikasi absolut
a.    Timbulnya kor pulmonale akibat adanya obstruksi jalan nafas yang kronis.
b.    Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea pada waktu tidur.
c.    Hipertrofi yang berlebihan yang mengakibatkan disfagia dan penurunan berat badan sebagai penyertanya.
d.   Biopsi eksisi yang di curigai sebagai keganasan (limfoma).
e.    Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada jaringan sekitarnya.
2.    Indikasi relatif
Seluruh indikasi lain untuk tindakan tonsilektomi di anggap sebagai indikasi relatif.
3.    Indikasi lain yang paling dapat di terima adalah
a.    Serangan tonsilitis yang berulang.
b.    Hiperplasia tonsil dengan gangguan fungsional (disfagia).
c.    Hiperplasia dan obstruksi yang menetap selama 6 bulan.
d.   Tidak memberikan respons terhadap penatalaksanaan dan terapi.



G.  Kontraindikasi
1.    Demam yang tidak di ketahui penyebabnya.
2.    Asma.
3.    Infeksi sistemik atau kronis.
4.    Sinusitis.

H.  Persiapan operasi yang mungkin di lakukan
1.    Pemeriksaan laboratorium (Hb, leko, waktu perdarahan).
2.    Berikan penjelasan kepada klien tindakan dan perawatan setelah operasi.
3.    Puasa 6-8 jam sebelum operasi.
4.    Berikan antibiotik sebagai propilaksis.
5.    Berikan premedikasi ½ jam sebelum operasi.
















I.     Pengkajian
1.    Riwayat kesehatan yang bergubungan dengan faktor pendukung terjadinya tonsilitis serta bio- psiko- sosio- spiritual.
2.    Peredaradan darah
Palpitasi, sakit kepala pada saat melakukan perubahan posisi, penurunan tekanan darah, bradikardi, tubuh teraba dingin, ekstrimitas tampak pucat.
3.    Eliminasi
Perubahan pola eliminasi (inkontinensia uri/ alvi), distensi abdomen, menghilangnya bising usus.
4.    Aktivitas/ istirahat
Terdapat penurunan aktivitas karena kelemahan tubuh, kehilangan sensasi atau parese/ plegia, mudah lelah, sulit dalam beristirahat karena kejang otot atau spasme dan nyeri. Menurunnya tingkat kesadaran, menurunnya kekuatan otot, kelemahan tubuh secara umum.
5.    Nutrisi dan cairan
Anoreksia, mual muntah akibat peningkatan TIK (tekanan intra kranial), gangguan menelan, dan kehilangan sensasi pada lidah.
6.    Persarafan
Pusing/ syncope, nyeri kepala, menurunnya luas lapang pandang/ pandangan kabur, menurunnya sensasi raba terutama pada daerah muka dan ekstrimitas. Status mental koma, kelmahan pada ekstrimitas, paralise otot wajah, afasia, pupil dilatasi, penurunan pendengaran. 
7.    Kenyamanan
Ekspresi wajah yang tegang, nyeri kepala, gelisah.
8.    Pernafasan
Nafas yang memendek, ketidakmampuan dalam bernafas, apnea, timbulnya periode apnea dalam pola nafas.
9.    Keamanan
Fluktuasi dari suhu dalam ruangan.
10.    Psikolgis
Denial, tidak percaya, kesedihan yang mendalam, takut, cemas.

J.     Masalah  dan rencana tindakan keperawatan
1.    Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kerusakan jaringan atau trauma pada pusat pernafasan
Tujuan: Pasien menunjukkan kemampuan dalam melakukan pernafasan secara adekuat dengan memperlihatkan hasil blood gas yang stabil dan baik serta hilangnya tanda-tanda distress pernafasan.
Rencana tindakan:
a.    Bebaskan jalan nafas secara paten (pertahankan posisi kepala dalam keadaan sejajar dengan tulang belakang/ sesuai indikasi).
b.    Lakukan suction jika di perlukan.
c.    Kaji fungsi sistem pernafasan.
d.   Kaji kemampuan pasien dalam melakukan batuk/ usaha mengeluarkan sekret.
e.    Observasi tanda-tanda vital sebelum dan sesudah melakukan tindakan.
f.     Observasi tanda-tanda adanya ditress pernafasan (kulit menjadi pucat/ cyanosis).
g.    Kolaborasi dengan terapist dalam pemberian fisoterapi.


2.    Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan neuromuskuler pada ekstrimitas.
Tujuan: Pasien menunjukan adanya peningkatan kemampuan dalam melakukan aktivitas fisik.
Rencana tindakan:
a.    Kaji kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas.
b.    Ajarkan pada pasien tentang rentang gerak yang masih dapat di lakukan.
c.    Lakukan latihan secara aktif dan pasif pada akstrimitas untuk mencegah kekakuan otot dan atrofi.
d.   Anjurkan pasien untuk mengambil posisi yang lurus.
e.    Bantu pasien secara bertahap dalam melakukan ROM sesuai kemampuan.
f.     Kolaborasi dalam pemberian antispamodic atau relaxant jika di perlukan.
g.    Observasi kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas 

3.    Penurunan perfusi jaringan otak berhubungan dengan edema cerebri, perdarahan pada otak.
Tujuan: Pasien menunjukan adanya peningkatan kesadaran, kognitif dan fungsi sensori.
Rencana tindakan:
a.    Kaji status  neurologis dan catat perubahannya.
b.    Berikan pasien posisi terlentang.
c.    Kolaborasi dalam pemberian O2.
d.   Observasi tingkat kesadaran, tanda vital.

4.    Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya trauma secara fisik
Tujuan: Pasien mengungkapkan nyeri sudah berkurang dan menunjukkan suatu keadaan yang relaks dan tenang.
Rencana tindakan:
a.    Kaji tingkat atau derajat nyeri yang di rasakan oleh pasien dengan menggunakan skala.
b.    Bantu pasien dalam mencarai faktor presipitasi dari nyeri yang di rasakan.
c.    Ciptakan lingkungan yang tenang.
d.   Ajarkan dan demontrasikan ke pasien tentang beberapa cara dalam melakukan tehnik relaksasi.
e.    Kolaborasi dalam pemberian sesuai indikasi.

5.    Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan pada area bicara pada himisfer otak.
Tujuan: Pasien mampu melakukan komunikasi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan menunjukan peningkatan kemampuan dalam melakukan komunikasi.
Rencana tindakan:
a.    Lakukan komunkasi dengan pasien (sering tetapi pendek serta  mudah di pahami).
b.    Ciptakan suatu suasana penerimaan terhadap perubahan yang dialami pasien.
c.    Ajarkan pada pasien untuk memperbaiki  tehnik berkomunikasi.
d.   Pergunakan tehnik komunikasi non verbal.
e.    Kolaborasi dalam pelaksanaan terapi wicara.
f.     Observasi kemampuan pasien dalam melakukan komunikasi baik verbal maupun non verbal.

6.    Perubahan konsep diri berhubungan dengan perubahan persepsi.
Tujuan: Pasien menunjukan peningkatan kemampuan dalam menerima keadaan nya.
Rencana tindakan:
a.    Kaji pasien terhadap derajat perubahan konsep diri.
b.    Dampingi dan dengarkan keluhan pasien.
c.    Beri dukungan terhadap tindakan yang bersifat positif.
d.   Kaji kemampuan pasien dalam beristirahat (tidur).
e.    Observasi kemampuan pasien dalam menerima keadaanya.
7.    Perubahan pola eliminasi defekasi dan uri berhubungan dengan an inervasi pada bladder dan rectum.
Tujuan: Pasien menunjukkan kemampuan dalam melakukan eliminasi (defekasi/ uri) secara normal sesuai dengan kebiasaan pasien.
Rencana tindakan:
a.    Kaji pola eliminasi pasien sebelum dan saat di lakukan pengkajian.
b.    Auskultasi bising usus dan distensi abdomen.
c.    Pertahankan porsi minum 2-3 liter perhari (sesuai indikasi).
d.   Kaji/ palpasi distensi dari bladder.
e.    Lakukan bladder training sesuai indikasi.
f.     Bantu/ lakukan pengeluaran feces secara manual.
g.    Kolaborasi dalam(pemberian gliserin, pemasangan dower katheter dan  pemberian obat sesuai indikasi).

8.    Resiko terjadinya kerusakan integritas kulit berhubungan dengan sirkulasi perifer yang tidak adekuat, adanya edema, imobilisasi.
Tujuan: Tidak terjadi kerusakan integritas kulit (dikubitus).
Rencana tindakan:
a.    Kaji keadaan kulit dan lokasi yang biasanya terjadi luka atau lecet.
b.    Anjurkan pada keluarga agar menjaga keadan kulit tetap kering dan bersih.
c.    Ganti posisi tiap 2 jam sekali.
d.   Rapikan alas tidur agar tidak terlipat.







9.    Resiko terjadinya ketidakpatuhan terhadap penatalaksanaan yang berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan: Pasien menunjukan kemauan untuk melakukan kegiatan penatalak- sanaan.
a.    Identifikasi faktor yang dapat menimbulkan ketidak patuhan terhadap penatalaksanaan.
b.    Diskusikan dengan pasien cara-cara untuk mengatasi faktor penghambat tersebut.
c.    Jelaskan pada pasien akibat dari ketidak patuhan terhadap penatalaksanaan.
d.   Libatkan keluarga dalam penyuluhan.
e.    Anjurkan pada pasien untuk melakukan kontrol secara teratur.
















DAFTAR PUSTAKA

Boeis,Adam, 1994, Buku Ajar Penyakit THT, Jakarta: EGC.


Junadi, Purnawan,  1982, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


Price, Sylvia Anderson, 1985, Pathofisiologi Konsep klinik proses-proses penyakit, Jakarta: EGC.